| main article site » |
Published in Koran Tempo (L.T. Handoko, 28 October 2009)
Bagai master, ia menguasai segala jenis pengolahan dan optimalisasi buah kelapa menjadi bahan bakar. Juara LKIR 2009.
Penampilannya, tak bisa disangkal, memang sangat meyakinkan. Semua pertanyaan yang dilancarkan dewan juri seperti dapat dikembalikannya--meski cuma bermodal rujukan pada studi referensi.
Ibarat dunia hiburan, panggung Lomba Karya Ilmiah Remaja ke-41 di bidang ilmu pengetahuan teknik, Senin lalu, memang pantas menjadi milik Muhamad Wildan Yahya, 17 tahun. Bahasa yang disampaikan siswa Unit Pelaksana Teknis Dinas SMA Negeri 2 Pare Kediri, Jawa Timur, itu runut. Tutur kata dan pengalamannya juga terang-benderang, menggambarkan bahwa hari itu ia memang sangat siap.
Dua anggota kelompoknya, yang terpaksa menunggu di Kediri karena alasan efisiensi biaya, tidak menggerus kemampuannya mempresentasikan karya tulis ilmiah berjudul "Optimalisasi Produksi Biofuel dari Kelapa (Cocos nucifera) dengan Pengolahan Bertingkat" dengan sangat baik dan, satu lagi, tepat waktu. Tidak seperti pesaingnya, yang rata-rata mudah sekali disudutkan karena kelemahan metodologi penelitian ataupun ketidakefektivannya sebagai sebuah produk, Wildan mampu meyakinkan bahwa apa yang ia kerjakan bersama Ardhy Purwo dan Diana Sekar Sari adalah untuk memanfaatkan kelimpahan kelapa di daerah asal mereka. "Tidak ada limbah yang dihasilkan yang tidak berguna," begitu katanya.
Karya tulis ini, begitu pula Wildan dkk, dipilih sebagai yang terbaik di bidangnya, semalam. Mereka berhak atas hadiah uang tunai Rp 8 juta dan berpeluang mewakili pelajar pra-universitas Indonesia untuk bergabung dalam program tahunan Intel International Science and Engineering Fair 2010, yang diselenggarakan di San Jose, Amerika Serikat.
Setelah lolos seleksi pertama dari 60-an karya tulis ilmiah remaja di bidang teknik yang diterima panitia dari seluruh Indonesia, "pengolahan bertingkat kelapa" ini berhasil menyisihkan dua finalis lainnya untuk menjadi jawara. Satu finalis lainnya adalah "Oven Sakti (Alat Pembuat Telur Asin 48 Jam)", yang dibuat oleh M. Pandi Alam, Laily Immawati, dan Fitria Trisna Putri, siswa-siswi dari Diklat LPI Bina Bangsa, Jombang, Jawa Timur.
Karya tulis finalis lainnya adalah "Modifikasi Lesung Tradisional Menggunakan Prinsip Katrol" buatan Risalatul Amanah, Zidnie Dzakya Urbayani, dan Annisa Dejanira. Karya tulis milik tiga srikandi dari SMAIT Nur Hidayah, Sukoharjo, Jawa Tengah, ini dipilih sebagai juara kedua dan berhak atas hadiah uang tunai Rp 6 juta. Pandi dkk kebagian Rp 4 juta.
"Kami bukan cuma menilai ide dan orisinalitas, tapi juga proses ilmiahnya," kata Yudi Darma, anggota tim juri yang juga dosen di Program Studi Fisika Institut Teknologi Bandung. "Wildan punya data, literatur, dan menghasilkan sesuatu."
Menurut Yudi, apa yang dikerjakan Wildan dan kawan-kawan memang tidak unik lagi. Unsur kejutan yang berpotensi dihasilkan dari hasil penelitiannya tidak sebesar dua finalis lainnya. Apalagi kalau ingin mencari aspek efisiensi dan ekonomi.
"Tapi apa yang dia ingin coba buktikan dengan buah kelapa itu seluruhnya berhasil," kata Yudi soal kelebihan dan kekurangan setiap finalis menjelang pengumuman pemenang kemarin. "Wildan tahu apa yang dia kerjakan, membahasnya secara komprehensif, dan yang terpenting dia mengerti proses."
Total ada enam labu Erlenmeyer di atas sebuah nampan yang satu per satu diperkenalkan Wildan sebagai bukti setiap tingkat pengolahan yang telah dilakukan. Ia sudah fasih karena mengaku telah melakukan riset pengolahan sekaligus secara bertingkat pada buah kelapa itu sejak Mei. Sebelumnya, ia, di antaranya, mencoba menghasilkan biogas dari talas dan bioetanol dari sukun. "Penelitian insektisida dan pakan ternak juga pernah," kata siswa kurus, berkacamata, dan tampaknya betah sekali berada dalam laboratorium itu.
Pemanfaatan minyak kelapa untuk biosolar, oke, sudah jamak dilakukan. Pun dengan biogas. Tapi, bagaimana dengan bioetanol? Anggota tim juri lainnya, Erzi Agson-Gani, Kepala Pusat Teknologi Industri Manufaktur Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, mengungkapkan bahwa 4,6 persen kadar gula (karbohidrat) dalam air kelapa jelas tidak ekonomis untuk diolah menjadi bahan bakar jenis bensin itu. "Secara teori memang bisa dilakukan, tapi orang tidak pernah melakukan dengan bahan baku yang kurang dari 15 persen," katanya.
Wildan menjawab pertanyaan ini dengan mengutarakan kelimpahan buah kelapa di daerahnya. Alasan yang sama digunakannya ketika mengungkap bahwa minyak jarak sebenarnya bisa lebih efisien menghasilkan biosolar sembari mengakui biosolar yang dihasilkannya cuma setara dengan yang dari jelantah. "Tapi, masalahnya, jarak belum dibudidayakan secara luas di Jawa Timur kecuali di Mojokerto," katanya, "Kalau kelapa sudah banyak, berlimpah, termasuk di daerah saya."
Wildan juga bisa memuaskan Erzi tentang pengolahan biosolar dan bioetanol sebagai dua buah proses yang terpisah. Di sini ia menjelaskan keterkaitan hasil percobaannya terdahulu dengan rupa-rupa jamur Saccharomyces.
Ampas dari perasan santan kelapa, menurut dia, dapat digunakan sebagai bahan baku bioetanol melalui proses hidrolisis, dan fermentasi paling tepat menggunakan Saccharomyces cerevisiae. "Sedangkan air kelapa dapat digunakan sebagai bahan baku bioetanol dengan fermentasi menggunakan Saccharomyces telluris, Saccharomyces tuac, dan Zymomonas mobilis," ujarnya.
Penjelasannya ini memunculkan kekhawatiran juri lainnya, L.T. Handoko dari Pusat Penelitian Fisika LIPI, bahwa jangan-jangan membutuhkan energi yang lebih besar untuk memproduksi bioetanol itu jadi sedikit terbenam. Faktanya, memang, menurut hasil penelitian Wildan dkk, dibutuhkan lebih dari 8 liter air kelapa untuk bisa dihasilkan sulingan 1 liter bioetanol yang memenuhi syarat sebagai bahan bakar, yakni bioetanol 95 persen. WURAGIL
Tak Mau Mengerjakan Bukan Berarti Tak Bisa
Apa yang dikerjakan kelompok Wildan pada prinsipnya adalah mengolah buah kelapa habis-habisan. Berawal dari minyaknya yang diesterifikasi menjadi fame yang kemudian dicampur dengan solar untuk dijadikan biosolar jenis B-5 seperti yang sudah diproduksi Pertamina, penelitian diakhiri dengan pengolahan sludge--limbah dari pembuatan biogas--yang bisa dimanfaatkan sebagai pupuk organik. "Memang tidak ada yang mau membuat bioetanol dari kelapa karena tidak ekonomis, tapi mereka membuktikan bahwa itu mungkin," kata Yudi Darma.
Published in Koran Tempo (L.T. Handoko, 12 October 2009)
Setiap orang pasti pernah mendapatkan pengalaman menemukan suatu ide sederhana dalam kehidupan sehari-hari. Ide ini bisa dalam bentuk apapun, dari hal yang sangat sederhana sampai yang membutuhkan solusi teknis nan rumit. Sayangnya tidak semua orang mampu, berminat serta memiliki semangat untuk merealisasikan ide-idenya. Padahal ide-ide sederhana tetapi tepat guna semacam ini seringkali memiliki kontribusi riil serta dampak ekonomi langsung bagi pencipta serta masyarakat di sekelilingnya.
LIPI sebagai otoritas ilmiah utama di Indonesia memberikan kesempatan untuk menyebarluaskan ide-de semacam ini dalam wadah kompetisi di tingkat nasional bertajuk National Young Innovator Awards (NYIA). NYIA yang sudah diselenggarakan untuk kedua kalinya pada tahun ini kembali menjadi ajang kompetisi khususnya bagi para remaja dengan kreatifitas tinggi.
Berbeda dengan lomba karya ilmiah umumnya seperti Lomba Karya Ilmiah Remaja (LKIR) yang juga diselenggarakan oleh LIPI sejak 1968, NYIA tidak mensyaratkan aspek serta metoda ilmiah. Poin utama adalah orisinalitas dan keunikan ide, serta bagaimana ide tersebut mampu menjawab secara lugas masalah yang menjadi target solusi. Karenanya peserta cukup mengirimkan desain rancang bangun karya dan tanpa pembedaan jenjang sekolah. Bahkan remaja putus sekolah atau tidak pernah mengenyam bangku sekolah sekalipun bisa berpartisipasi. NYIA hanya mensyaratkan pengiriman karya dalam bentuk 1-2 halaman uraian desain singkat dan bila perlu disertai gambar atau foto. Tidak dituntut penulisan ala karya tulis ilmiah dengan metode-metode ilmiah yang baku dan sebagainya.
Hal ini tidak sekedar ditujukan untuk mempermudah calon peserta, namun lebih dari itu mencerminkan filosofi mendasar dari invensi sebagai titik awal proses sebuah inovasi. Berbeda dengan inovasi di ranah ilmiah murni, yang lebih ditujukan sebagai inovasi ilmu untuk ilmu itu sendiri, ataupun inovasi dengan latar belakang aspek teknis yang rumit dan diajukan sebagai paten reguler, invensi dalam kategori NYIA merupakan hasil pemikiran sesaat dengan teknologi minimal. Karya-karya semacam ini umum ditemui dalam bentuk paten sederhana. Meski dikategorikan sebagai paten sederhana, olah rekayasa teknik semacam ini mendominasi pengajuan paten di hampir semua negara. Bahkan banyak diantaranya menjadi produk-produk dengan nilai penjualan tertinggi. Lebih penting lagi, penemu-penemu teknologi ini sebagian besar adalah masyarakat awam, mulai dari pelajar sampai dengan ibu rumah tangga. Aneka invensi ini bisa dengan mudah ditemui dalam bentuk produk alat sehari-hari di pasar swalayan. Misalnya alat untuk meletakkan sendok sayur di dapur tanpa mengotori meja yang ditemukan oleh seorang ibu rumah tangga di Jepang dan menjadi salah satu produk dengan penjualan tertinggi beberapa tahun lalu di negara tersebut. Invensi semacam ini tidak akan muncul dari seorang profesor botak dalam sebuah laboratorium. Karena invensi semacam ini hanya bisa muncul sebagai sebuah solusi praktis atas masalah nyata dalam profesi seorang ibu rumah-tangga. Perbedaannya adalah ibu rumah-tangga penemu ini memiliki kejelian melihat masalah, kreatif mencari solusi praktisnya serta memiliki semangat dan keberanian berkarya ! Keinginan mendapatkan keuntungan finansial bukan merupakan motivasi utama, meski pada akhirnya keuntungan cukup besar bisa diraih oleh ibu rumah-tangga diatas.
Meski sebagian kalangan menganggap era perlindungan atas hak kekayaan intelektual (HKI) dewasa ini merugikan negara-negara berkembang seperti Indonesia, peningkatan produktifitas dan kreatifitas masyarakat dalam bentuk paten-paten sederhana berpotensi besar menjadi penggerak ekonomi berbasis industri kreatif, bahkan menjadi sumber devisa. Industri kreatif tidak hanya yang terkait dengan bidang seni, tetapi justru bisa melibatkan seluruh lapisan masyarakat dalam bentuk produksi aneka invensi sederhana. Bahkan karena kesederhanaan invensi, sebagian besar produk semacam ini diproduksi oleh industri-industri skala kecil menengah.
Karena itu sudah selayaknya perlu dilakukan kampanye dan pendidikan massal dalam rangka menggalakkan kreatifitas masyarakat untuk melakukan aneka invensi sebagai solusi atas berbagai masalah sehari-hari. Bila upaya ini dibarengi dengan kemudahan proses pendaftaraan HKI dalam bentuk paten sederhana, tidak mustahil Indonesia dengan 200 jutaan penduduknya bisa menjadi produsen invensi utama dunia. Di negara-negara maju sudah umum dikenal kelompok-kelompok kecil inventor atau penggemar invensi dari kelompok karyawan, pelajar, ibu rumah-tangga dan sebagainya. Mereka berkumpul sebagai ajang berdiskusi untuk mendapatkan ide baru atau mematangkan ide yang sudah ada dengan masukan dari anggota yang lain. Mungkin di Indonesia sudah saatnya ajang perkumpulan seperti karang-taruna, PKK dan arisan diarahkan untuk menjadi embrio kelompok-kelompok inventor.
Dalam rangka menginisiasi gerakan masyarakat inventor inilah LIPI memulai kompetisi NYIA sejak tahun 2008 lalu. NYIA difokuskan untuk usia 18 tahun ke bawah, karena merekalah yang diharapkan menjadi generasi penghela lokomotif perubahan bangsa ini di masa mendatang.
Published in
Tempo Interaktif (Wuragil, 12 October 2009)
Nur Aini Akbar bukan dengan sengaja singgah di Pusat Peraga Iptek di dalam kompleks Taman Mini Indonesia Indah, Sabtu lalu. Siang itu, calon doktor di Universitas Negeri Jakarta itu membawa keluarganya 'melarikan diri' dari penat dan lelah sebuah acara formal yang dihadirinya di bagian lain di kompleks itu.
Saya orang Jakarta tapi saya tidak pernah kesini dan ternyata anak saya tidak mau diajak pulang, kata Nur.
Faktanya bukan cuma anaknya yang betah. Nur juga ternyata memilih bertahan hingga jelang pusat peraga itu ditutup untuk umum sore harinya. Ia mengaku menemukan keunikan diantara rupa-rupa inovasi para finalis ajang National Young Innovator Awards 2009 yang dipamerkan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia hari itu.
Nur sengaja menunggu sampai usai pengumuman para pemenang sebelum bergegas menghampiri satu meja milik finalis yang ikut dijagokannya. Finalis yang nyatanya memang diumumkan termasuk tiga Inovator Terpilih oleh dewan juri itu adalah Agus Arif Rahman dan Edwin Aditya Herbanu dari SMA Muhammadiyah 2, Sidoarjo, Jawa Timur.
Kedua siswa kelas tiga itu mendesain inovasi yang diberi nama Refreshing Helmet. Helm Arif dan Edwin itu memiliki tabung oksigen di bagian belakang dan berpelengkap masker di bagian muka. Ketika konsentrasi oksigen di sekitarnya merosot dari 20 persen, sensor memicu prosesormikro membuka katup tabung seara otomatis dan si pemakai yang notabene pengendara motor bisa menghirup kesegaran oksigen.
Try it, then like it...the refreshing helmet, begitu keduanya mempromosikan inovasinya itu. Nur mengaku terkesan dengan pemikiran Arif dan Edwin itu. Suami saya kan kerja di Honda, nanti saya coba saya sampaikan inovasi ini kepadanya, katanya.
Pengalamannya bekerja dibidang public relations membuat Nur berpikir cepat sore itu. Otak bisnisnya ikut berputar tangkas. Kalau Honda bisa membuat helm ini lebih menarik dan laku dipasarkan kepada jutaan pengendara sepeda motor yang ada saat ini, keuntungannya kita bagi dua ya, katanya ringan sambil meninggalkan alamat email kepada kedua siswa.
Kepala Bidang Pengelolaan Hak atas Kekayaan Intelektual di Pusat Inovasi LIPI, yang juga Ketua Dewan Juri NYIA 2009, Subiyatno, menyatakan, Refreshing Helmet, bersama Safety Child di sepeda motor karya bersama tiga siswi dari SMAN 6 Yogyakarta dan Tabung ASI Sederhana Menggunakan Aluminium Foil milik duo siswa SMP Muhammadiyah 2 Yogyakarta, tergolong desain inovasi sederhana yang dekat dengan aplikasi langsung.
Helm pembawa kesegaran milik Arif dan Edwin bahkan dinilainya lebih karena memiliki segmen pengguna yang khusus, yakni mereka yang punya problem dengan pernafasan. Meski diakui perlu desain ulang terkait penempatan dan ukuran tabung oksigen yang digunakan, Subiyatno menambahkan, helm dari Sidoarjo ini bisa sangat berguna. Memang tidak harus memakai helm seperti ini, tapi menurut saya ini adalah pilihan yang sangat bagus, katanya.
Laksana Tri Handoko, anggota dewan juri, menambahkan bahwa Refreshing Helmet termasuk inovasi paling unik dan menarik dalam ajang NYIA tahun ini. Peneliti di Pusat Penelitian Fisika, LIPI, ini menjelaskan kalau penilaian Sabtu lalu adalah lebih kepada konfirmasi orisinalitas ide lewat wawancara langsung terhadap para peserta lomba.
Total 15 tim finalis yang hadir di Taman Mini Indonesia Indah sebelumnya telah disaring oleh Subiyatno, Handoko dan tiga anggota juri lainnya (masing-masing dari Institut Teknologi Bandung, Universitas Indonesia dan Pusat Peraga Iptek-TMII) dari 145 desain inovasi yang mereka terima untuk lomba tahun ini. Mereka dikirim dari 14 provinsi oleh para siswa dalam rentang usia 8-18 tahun.
Disini (Taman Mini) kami ingin lebih memastikan kalau inovasi memang lahir dari ide mereka sendiri ketika menemukan masalah yang dihadapi, ujarnya sambil menambahkan kalau beberapa finalis terungkap mengerjakan ide orang tua atau guru.
Kepada Tempo Arif mengutarakan, idenya didapat ketika ia berada di belakang sebuah truk. Saat itu ia sedang mengendarai sepeda motornya, macet, dan terganggu oleh asap knalpot truk yang pekat. Helm ini juga saya buat karena melihat begitu besar angka kecelakaan lalu lintas sepeda motor yang disebabkan pengendaranya mengantuk, katanya usai penganugerahan hadiah.
Edwin, yang saat ide itu muncul sedang duduk di jok belakang sepeda motor Arif, menambahkan, proses perakitan helm dilakukan dalam hitungan harisejak pengumuman para finalisdengan bagian tersulit adalah mendesain tempat tabung oksigen. Kami sempat menyia-nyiakan satu buah helm, katanya.
Saat dihubungi kemarin Edwin sedang menikmati sebagian hadiah uang yang diterimanya (Rp 3 juta dibagi berdua Arif) di sebuah pusat belanja di Jakarta. Sebagian lainnya diakui akan digunakan untuk kursus bahasa Inggris. Untuk persiapan, siapa tahu kami yang berangkat ke Vietnam tahun depan, katanya merujuk ajang International Exhibition for Young Inventors.
Sejatinya LIPI akan 'mengadu' para jawara desain inovasi dari NYIA ini dengan pemenang dari ajang Lomba Karya Ilmiah Remaja nanti. Mereka akan mencari yang terbaik dari yang terbaik untuk diberangkatkan mewakili siswa Indonesia ke ajang itu.
Published in Dikti (Irwandi, 5 October 2009)
Malam Anugerah Kekayaaan Intelektual Luar Biasa baru saja digelar di Grand Hyatt Hotel Jakarta (02/10). Prof. Hermawan Sulistiyo dan Shahnaz Haque sebagai pemandu acara pada malam itu memanggil satu demi satu dan membacakan sinopsis karya dari 21 nama peraih anugerah kekayaan intelektual luar biasa 2009. Mereka adalah inovator dan inventor yang berprestasi luar biasa
Mereka telah membuktikan bahwa ilmu bukan sekedar untuk ilmu. Penelitian bukan sekedar untuk penelitian. Karya mereka disamping bernilai invensi, inovasi tinggi, tapi juga telah terbukti memberikan nilai tambah bagi lingkungan, industri, dan perekonomian nasional.
Berkat kerja keras dan kerja cerdas ini, anugerah yang mereka dapatkan berupa Surat Keputusan Menteri; Piagam Penghargaan; Trophy; dan uang sebesar Rp. 250 juta sebelum dikurangi pajak.
Ada empat kategori bidang yang diberikan dalam AKIL ini yaitu 1) Bidang Teknologi yang dilindungi Hak Paten; 2) Bidang Teknologi Pemulian dan Pengembangan Varietas Tanaman yang dilindungi Hak Perlindungan Variatas Tanaman, PVT; dan 3) Bidang Ilmu Pengetahuan: 4) Bidang Industri Kreatif yang masing-masing dilindungi Hak Cipta.
Malam itu merupakan malam kemenangan bagi para peneliti, dosen dan masyarakat yang selama ini telah mendedikasikan dirinya (waktu, fikiran dan tenaga) untuk pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Menurut Dirjen Dikti, Prof. Dr. Fasli Jalal, mereka selama ini kesepian, jarang diapresiasi. Ini adalah salah satu bentuk apresiasi dan motivasi kepada mereka agar terus berkarya dan menghasilkan penemuan baru untuk kemajuan bangsa.
âKegiatan ini bertujuan juga untuk mendorong dosen, peneliti dan masyarakat untuk menghasilkan dan menghargai karya intelektual, dan menumbuhkan budaya kreatif dan inovatif dalam rangka meningkatkan daya saing nasional, tegas Menteri Pendidikan Nasional, Prof. Dr. Bambang Sudibyo dalam kata sambutannya pada malam penganugerahan ini.
21 nama yang terpilih memiliki profil yang cukup bervariasi, dari sisi gender terdapat 4 wanita dan 17 pria, umur dari 37 hingga 74 tahun, pendidikan dari D-3 hingga S-3 dan pekerjaan meliputi wiraswasta, karyawan swasta, pegawai negeri, peneliti, dosen hingga pensiunan.
Program ini terselenggara berkat kerjasama yang baik antara Departemen Pendidikan Nasional (Ditjen Dikti, DP2M); Kementerian Negera Riset dan Teknologi (Deputi Pendayagunaan dan Pemasyarakat IPTEK: AD-DSI); Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia (Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual: Ditjen Paten); 4) Departemen Perdagangan (Sekretariat jenderal Departemen: PPVT) dan dukungan dari Departemen/kementerian anggota Tim Nasional Penanggulangan Pelanggaran hak kekayaan Intelektual (Tim Nas PPHKI).
Mereka yang telah mengukir prestasi sebagai peraih anugerah kekayaan intelektual luar biasa.
Kegiatan anugerah ini baru pertama kalinya diadakan. semoga terus berlanjut.
Published in
In Memoriam Hans Wospakrik (2009)
Memahami fisika itu tidak hanya di kepala, tapi sampai merasuk ke dalam jiwaâ âHans J. Wospakrik
Di pengujung Agustus 2003 media massa memperkenalkan seorang fisikawan Indonesia dengan reputasi mengagumkan: Hans Jacobus Wospakrik. Dia telah 20 kali menembus empat jurnal fisika tingkat dunia bagi publikasi hasil-hasil penelitian dalam Teori Relativitas Einstein, teori medan, dan fisika partikel.
Keempat jurnal itu adalah Physical Review D, Journal of Mathematical Physics, Modern Physics Letters A, dan International Journal of Modern Physics A. Di jurnal-jurnal inilah pekerjaan sebagian pemenang Nobel Fisika dimaklumkan. Keberhasilan ini menghendaki dua perjuangan yaitu mencapai mutu akademik yang tinggi dan memenuhi tuntutan finansial yang sungguh berat.
Sebagai fisikawan dengan reputasi internasional yang pada awal 1980-an pernah mengadakan riset bersama peraih hadiah Nobel Fisika 1999 Martinus J. G. Veltman di Utrecht (Belanda) dan di Ann Arbor, Michigan (AS), Hans tetaplah seorang dosen yang sederhana. Dia masih bersedia mengajar fisika dasar untuk mahasiswa tingkat satu, juga selalu menyediakan waktu membimbing mahasiswa, bahkan sampai larut malam, dengan risiko harus pulang berjalan kaki dari kampus Ganesha ITB ke rumahnya yang jauhnya enam kilometer.
Tak salah jika Terry Mart, pengajar dan staf riset di Departemen Fisika Universitas Indonesia, menggolongkan Hans sebagai peneliti militan yang hidup di garis kemiskinan.
Sedangkan L.T. Handoko, peneliti pada Puslitbang Fisika Terapan, LIPI, setelah melihat deretan publikasi Hans, menyebutkan penelitian semacam itu tak mungkin dihasilkan tanpa kesabaran dan ketekunan dalam tingkat paling ekstrem.
Sebagai fisikawan teori, modal utama riset-riset Hans adalah teks dan paradigma. Bukan laboratorium yang bernilai miliaran atau triliunan rupiah seperti akselerator partikel yang terdapat di Amerika Serikat, Jerman, dan perbatasan Swiss- Prancis itu. Hans mampu memperlihatkan bagaimana fisikawan dapat memahami fenomena ilmu fisika dengan sematamata mengandalkan perangkat lunak (matematika).
Sayang, dengan prestasi akademik yang luar biasa ini, pemerintah Indonesia tidak terpanggil memberi penghargaan yang pantas kepada fisikawan kelahiran Papua ini. Inilah yang membuat Profesor Ryu Sasaki dari Institut Fisika Teori Yukawa di Jepang tak habis heran.
Ketika berkunjung di Bandung sekitar 17 tahun yang lalu, Sasaki mengatakan, âKalau menggunakan kriteria di Jepang Hans mungkin satu dari sedikit ilmuwan di Indonesia yang pantas mendapat gelar Profesor.â
Melalui buku Dari Atomos hingga Quark ini, kita bisa mengetahui karya Hans yang sangat mengagumkan. Fisika dan kimia yang oleh banyak orang ditangkap sebagai sesuatu yang sukar, di tangan Hans dapat dikemas dalam bahasa Indonesia yang sederhana dan indah sehingga nikmat untuk dipahami, sekalipun oleh orang yang awam. Isi buku ini merupakan rangkuman berbagai buku rujukan dan artikel yang disajikan secara populer dengan menghindari uraian rinci teknis yang berkaitan dengan peranti ukur (instrumen) dan peranti nalarnya (matematika).
Menapaki rentetan kisah yang dijalin dari halaman yang satu ke halaman berikutnya secara kronologis dan mempesona, pembaca diajak mengagumi derap lintas waktu dan lintas batas negara para fisikawan dunia dalam kerjasama membangun lumbung pengetahuan untuk memecahkan teka-teki alam yang tiada habisnya.
Akhirnya, sosok Hans sebagai fisikawan di garis kemiskinan ini bisa dijadikan pelajaran bagi para ilmuwan agar tetap tangguh mempertahankan budaya akademik. Penelitian bukanlah kegiatan yang menjanjikan atau mendatangkan keuntungan ekonomik, melainkan upaya yang tiada mengenal lelah untuk mencapai kebenaran.
Dan, kata Daniel Coit Gilman, seorang pendidik, âkebenaran akan memerdekakan (veritas vos liberabit).â
Published in
Suara Karya (Indra, 15 August 2009)
PENGHARGAAN ACHMAD BAKRIE 2009--Wakil Presiden Jusuf Kalla bersama Ibu Mufidah Kalla, Ibu Roosniah Bakrie (ibunda Aburizal Bakrie), dan Aburizal Bakrie foto bersama dengan para penerima Penghargaan Achmad Bakrie 2009 usai penyerahan penghargaan tersebut di Jakarta, Jumat (14/8) malam. Para penerima Penghargaan Achmad Bakrie 2009 antara lain Ag Soemantri di bidang Kedokteran (kedua dari kiri), Pantur Silaban di bidang Sains (kedua dari kanan), dan Warsito P Taruno di bidang Teknologi (kanan). (Suara Karya/Andry Bey)
Penghargaan Achmad Bakrie yang kali ini memasuk tahun ke-7 diharapkan membuka mata masyarakat terkait pentingnya prestasi dalam disiplin ilmu tertentu. Dengan pretasi, ilmuwan dalam negeri bisa berdiri sejajar dengan ilmuwan dunia. Artinya, ilmuwan lokal diakui dunia internasional.
Demikian pernyataan Dewan Juri Penghargaan Achmad Bakrie 2009 terkait pemberian penghargaan tersebut kepada sejumlah tokoh ilmuwan, semalam, di Jakarta. Perhelatan tersebut diselenggarakan Yayasan Bakrie untuk Negeri bekerja sama dengan Freedom Institute.
Ajang pemberian Penghargaan Achmad Bakrie untuk yang ke-7 ini menetapkan lima anak bangsa berprestasi di bidang masing-masing, yakni pemikiran sosial, kesusastraan, kedokteran, sains, dan teknologi.
Pemberian Penghargaan Achmad Bakrie diharapkan membuka mata masyarakat tentang pentingnya apresiasi terhadap prestasi seseorang untuk kepentingan masyarakat. "Kita punya orang yang bisa dipertandingkan dengan ilmuwan-ilmuwan dunia lainnya," kata anggota Dewan Juri Penghargaan Achmad Bakrie, Hamid Basyaib.
Menurut Hamid, para penerima Penghargaan Achmad Bakrie lolos seleksi kriteria utama, yakni terus berkarya di bidang yang ditekuni secara konsisten. "Penyerahan penghargaan tidak harus setiap tahun, tapi tergantung temuan dan prestasi," tuturnya.
Kelima tokoh berprestasi penerima Penghargaan Achmad Bakrie 2009 meliputi Pantur Silaban untuk bidang sains. Dia merupakan mahasiswa pertama program doktoral dari Indonesia (1967) yang mempelajari secara formal relativitas umum di Universitas Syracuse, AS. Pantur berhasil membangun persamaan-persamaan gerak relativistik untuk partikel-partikel titik. Selain itu, Pantur juga merintis pengembangan metode-metode matematika dalam melacak konsep simetri dalam fisika.
Penerima kedua adalah Danarto (kesusastraan) yang memperluas pengertian realisme dalam sastra Indonesia. Penerima ketiga adalah Agustinus Soemantri Hardjojuwono (kedokteran). Dia merupakan perintis terobosan cangkok sumsum tulang belakang, cangkok sel punca, dan pelopor pemahaman tentang zat besi bagi anak.
Penerima keempat adalah Warsito P Taruno (teknologi) myang terus mengembangkan teknologi tomografi volumetric berdimensi empat yang telah dipatenkan dan dipakai oleh lembaga antariksa AS, NASA. Sementara penerima kelima adalah Sajogyo (pemikiran sosial) yang identik dengan isu perdesaan serta pengukuran kemiskinan di Indonesia. "Teori ini penting bagi pemerintah untuk merumuskan kebijakan," ujar Hamid.
Saat menerima penghargaan, Warsito mengatakan, apa yang dia lakukan bukan karena keinginan ataupun untuk mencapai ketenaran, tapi karena rasa penasaran. Menurut dia, alasan menekuni teknologi ini setelah mendapatkan dorongan kuat bapaknya untuk selalu maju. Sedangkan ibunya selalu memotivasi agar dia melakukan segala sesuatu pekerjaan dengan dasar ketulusan dan ketabahan. "Kedua orang tua itulah yang selalu mendidik dan membimbing Warsito untuk terus optimis," ucapnya.
Kelima orang penerima Penghargaan Achmad Bakrie itu masing-masing mendapatkan hadiah uang tunai Rp 150 juta.
Sebelumnya, pemenang Penghargaan Achmad Bakrie sejak 2003 adalah Ignas Kleden (pemikiran sosial) dan Sapardi Damono (kesusastraan). Kemudian Nurcholish Madjid (pemikiran sosial) pada tahun 2004. Lalu Goenawan Mohammad (kesusastraan) dan Sartono Kartodirjo (pemikiran sosial) pada tahun 2005.
Arief Budiman (pemikiran sosial), alm WS Rendra (kesusastraan) dan Iskandar Wahidah (kedokteran) menjadi penerima Penghargaan Achmad Bakrie pada tahun 2006. Sementara Frans Magnis-Suseno (pemikiran sosial), Putu Wijaya (kesusastraan), Sangkot Marzuki (kedokteran), Jorga Ibrahim (sains), dan Balai Besar Padi (teknologi) terpilih jadi penerima pada tahun 2007.
Pada tahun 2008, Penghargaan Achmad Bakrie diberikan kepada Taufik Abdullah (pemikiran sosial), Sutardji Colzoum Bachrie (kesusastraan, Mulyanto (kedokteran), Laksana Tri Handoko (sains), dan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (teknologi).
Published in
Surabaya Post (15 August 2009)
Kelambu ranjangku tersingkap
di bantal berenda tergolek nasibku.
Apabila firmanmu terucap
masuklah kalbuku ke dalam kalbumu.
PENGGALAN puisi Nyanyian Suto untuk Fatimah karya WS Rendra itu dibacakan dengan lancar, tanpa teks, dan penuh penghayatan oleh Aburizal Bakrie, putra Achmad Bakrie sang penggagas Achmad Bakrie Award. Ical, panggilan Aburizal Bakrie, menyebut puisi Rendra yang terdiri atas 3 bait (14 baris) itu sebagai kesimpulan dari kegiatan yang merupakan wasiat ayahandanya itu.
Waktu lahir kau telanjang dan tak tahu
tapi hidup bukanlah tawar-menawar.
Dua baris terakhir puisi Nyanyian Suto untuk Fatimah yang dibacakan Ical âpanggilan Aburizal Bakrieâ terasa dalam. Kalimat itu memang bisa disebut pokok pikiran yang disampaikan Rendra melalui puisinya itu.
Seorang anak manusia lahir di dunia bagaikan kertas putih. Lingkungan yang kemudian membentuknya. Manusia lalu mendapatkan kebebasan memilih dalam hidupnya. Tetapi, jangan lupa ââhidup bukanlah tawar-menawarââ. Hidup adalah perjanjian yang harus dipertanggungjawabkan di depan-Nya.
Tepat sekali bila Ical menyebut puisi Rendra ini sebagai kesimpulan dari kegiatan pemberian Achmad Bakrie Award. Kehidupan akan menjadi lebih bernilai dengan lahirnya para pemikir untuk kemajuan hidup umat manusia.
ââHidup ini mempunyai tantangan, harus diselesaikan,ââ ujar Ag Soemantri Hardjojuwono, salah satu peraih Achmad Bakrie Award bidang kedokteran 2009, dalam pidatonya usai menerima penghargaan di Hotel Nikko Jakarta, Jumat (14/8) malam.
Ada lima tokoh nasional yang menerima Achmad Bakries Award tahun 2009 ini. Selain Ag Soemantri, juga pemikir sosial Sajogyo, fisikawan Pantur Silaban, Warsito P Taruno (pemikir elektro), dan sastrawan Danarto. Penghargaan diberikan dalam bentuk trofi dan uang senilai Rp150 juta.
Puisi Rendra dibacakan pada kesempatan itu untuk mengenang meninggalnya sang Burung Merak itu belum lama. Selain Ical yang membacakan Nyanyian Suto untuk Fatimah, penyair Sitok Srengenge membacakan puisi Rendra lainnya, Kupanggil Namamu. Rendra sendiri adalah penerima Achmad Bakrie Award bidang sastra pada 2006.
Acara yang dimeriahkan berbagai hiburan dan dihadiri ratusan undangan itu juga dihadiri tokoh-tokoh penting. Antara lain Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menteri BPN/Kepala Bappenas Paskah Suzetta, Ketua DPR Agung Laksono, Panglima TNI Jenderal Djoko Santoso, perwakilan asing, dan Rizal Mallarangeng dari Freedom Instute selaku pelaksana tradisi pemberian penghargaan Achmad Bakrie Award tiap tahun tersebut.
Jusuf Kalla mengatakan, penghargaan ini merupakan pencapaian bersama dalam upaya meningkatkan mutu bangsa. ââBangsa sejahtera ingin maju tak mungkin tanpa penciptaan, nilai tambah, kemajuan, ilmuwan, sastrawan bagi kita semua,â katanya dalam pidato sambutannya.
Pemberian penghargaan Achmad Bakries 2009 ini digelar juga untuk menyambut HUT Kemerdekaan RI ke-64. Pemberian Achmad Bakrie Award sudah berlangsung sejak 2003 dan akan terus berlangsung. Hingga kini sudah 23 tokoh nasional yang telah menerimanya.
Para pemenang penghargaan Achmad Bakrie sejak 2003 adalah Ignas Kleden (bidang pemikiran sosial) dan Sapardi Damono (kesusastraan); pada 2004, Nurcholish Madjid (pemikiran sosial) dan Goenawan Mohammad (kesusastraan); pada 2005 Sartono Kartodirjo (pemikiran sosial); pada 2006 Arief Budiman (pemikiran sosial), Rendra (kesusastraan) dan Iskandar Wahidah (kedokteran) dan; pada 2007, Frans Magnis-Suseno (pemikiran sosial), Putu Wijaya (kesusastraan), Sangkot Marzuki (kedokteran), Jorga Ibrahim (sains), dan Balai Besar Padi (teknologi).
Adapun pemenang tahun 2008 adalah Taufik Abdullah (pemikiran sosial), Sutardji Colzoum Bachrie (kesusastraan, Mulyanto (kedokteran), Laksana Tri Handoko (sains) dan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (teknologi).
Pengembang Steme Cell
Peraih Achmad Bakrie Award bidang kedokteran 2009, Ag Soemantri Hardjojuwono, mengatakan, kemajuan bangsa Indonesia ini bergantung pada kemampuan pemimpin dalam mengelola generasi muda. Pencapaiannya sehingga mendapatkan penghargaan tidak lepas dari dukungan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro dan tim riset di berbagai daerah.
Agustinus adalah dokter di Rumah Sakit Karyadi, Solo. Dia juga masih mengajar di Universitas Diponegoro, Semarang. Soemantri mendapat Penghargaan Achmad Bakrie tahun ini karena merintis terobosan medis di tiga bidang, yaitu pencangkokan sumsum tulang belakang, pencangkokan sel puncak (stem cell), dan kepeloporan dalam pemahaman tentang zat besi bagi pertumbuhan anak.
Salah satu anggota dewan juri, Hamid Basyaib menjelaskan, studi yang dilakukan Soemantri telah melahirkan rintisan cangkok sumsum tulang belakang untuk penderita talasemia dan leukimia pada 1987.
Memang Soemantri bukan yang menemukan teknik cangkok sumsum tulang belakang, namun dia telah merintis penerapan metodenya. ââHingga kini Soemantri telah menerapkan metode ini pada sekitar 400 pasien,ââ kata Hamid saat memberikan keterangan pers di kantor Freedom Institute, Menteng, Jakarta Pusat, Kamis (13/8) lalu.
Soemantri sedang merintis cangkok cangkok liver dan sel punca. Metode ini sudah dipakai di berbagai negara tetapi belum pernah diadopsi di Indonesia. Karena dinilai akan mengundang perdebatan kontroversial.
Parameter Kemiskinan
Sedangkan Sajogyo, salah satu peraih penghargaan Achmad Bakrie Award 2009 dinilai memiliki terobosan dalam pemikiran soal parameter kemiskinan. Peraih gelar Insinyur pertanian pada tahun 1955 dari Universitas Indonesia (kini IPB), itu memiliki konsep kemiskinan yang spesifik dan sangat cocok dengan karakteristik Indonesia.
ââParameter kemiskinan yang digunakan di negara lain tidak bisa dipakai untuk mengukur kemiskinan di Indonesia,ââ kata Hamid Basyaib.
Sajogyo dinilai sudah memberikan idenya dalam mengukur kemiskinan dari parameter yang dibuat. Sajogyo juga dianggap memiliki ukuran sendiri untuk menentukan kemiskinan itu dilihat konsumsi berasnya.
ââTingkat kesejahteraan menurut dia, masyarakat bisa mengkonsumsi sekitar 2.100 kalori dari beras,ââ ujar Hamid. Ide yang dinilai sangat baik itu ternyata sudah ada sejak 30 tahun lalu masa kerja dirinya.
Sajogo membagi kemiskinan menjadi garis kemiskinan, kemiskinan relatif, kemiskinan absolut, indeks ukur, elastusitas, dan berbagai ukuran distribusi. Tokoh ini pada 30 tahun silam menyebutkan kemiskinan bukan sekedar angka, tetapi realitas yang membutuhkan alat analisa yang realistis yang kemudian dikenal sebagai Garis Kemiskinan Sajogyo.
Teknologi ECVT
Warsito P Taruno, penerima Achmad Bakrie Award 2009, merupakan tokoh yang mengembangkan electrical capacitance volume tomography (ECVT) untuk pencitraan tiga dimensi dan real time tanpa tambahan piranti khusus.
Mengetahui dengan rinci hal-hal yang tak terlihat langsung oleh mata telanjang adalah salah satu impian besar ilmu pengetahuan. Kemampuan itu memungkinkan manusia mengantisipasi dan mengendalikan keadaan, yang akhirnnya akan menopang perbaikan mutu kehidupan manusia. Sumbangan penting Warsito adalah mewujudkan sebagian dari impian besar itu melalui teknologi ECVT-nya.
Teknologi yang dikembangkannya memang belum membantu manusia menembus waktu jauh ke depan, tapi ia jelas mampu menembus ruang. Ruang dalam mesin dan manusia dengan berbagai dinamika yang bekerja di dalamnya bisa menjadi tergelar jelas dengan citraan tiga dimensi dan seketika (real time) tanpa perlu menyisipkan piranti khusus ke dalam mesin atau tubuh tersebut.
Sementara itu, Danarto, penerima Achmad Bakrie Awad 2009, karena telah memberikan pemahaman realisme dalam sastra Indonesia termasuk potret kehidupan sehari-hari, perangkat hukum dengan tujuan mengubah masyarakat lebih baik.
Sedangkan fisikawan Silaban mendapat Achmad Bakrie Award 2009 karena konsisten menekuni bidangnya. Hingga awal dasawarsa 1970-an di Indonesia hanya terdapat empat fisikawan yang mengambil spesialisasi sampai tingkat Ph.D. dalam bidang fisika teori.
Pantur Silaban adalah satu-satunya dari keempat fisikawan teori angkatan pertama itu yang konsisten hingga hari ini bertungkus lumus dalam bidang fisika teori, yang meliputi Teori Relativitas Umum, Teori Medan Kuantum, Fisika Partikel Elementer, Kosmologi, dan Fisika Matematika.
Published in Jakarta Globe (15 August 2009)
A December 2011 deadline has been set for the full implementation of a single identity number across the country, a government official said on Friday.
Although there have been initial problems in rolling out the system, Saut Situmorang, a spokesperson for the Ministry of Home Affairs, said the government was confident it would meet the deadline for the new identity number, also referred to as NIK.
He said the system would significantly improve the governmentâs population database, which would allow for better processing of administrative services, such as voter registration for the next elections.
The 2006 law regarding population administration gave the government a five-year time frame after it was passed to set up the new system.
However, its rollout in selected cities, such as Jakarta, Yogyakarta and Denpasar, has been hampered by a lack of facilities for digital fingerprinting, important to avoid doubling up of identity numbers or one NIK being used by several individuals.
The system features a single identity number of 16 digits for each citizen. The number will stay the same for individuals regardless of where they reside.
Once it is up and running, the government envisions using the NIK to verify a number of documents, including driverâs licenses, passports, tax registration, insurance and land titles.
The new system, Saut said, would hopefully reduce the incidence of identity fraud and administrative violations.
While it has come under fire over privacy concerns, the single identity number system was backed by the National Commission on Human Rights (Komnas HAM).
âIt will even reduce rights violations by government officials when we deal with them,â commissioner Yoseph Adi Prasetyo said. âWe no longer have to come back every five years to renew our identity card, so they wonât have to ask for a birth certificate every time.â
Saut said authorities would employ stringent measures to secure the new database. âIt wonât be easily hacked,â he said.
Laksana Tri Handoko, an IT expert from the Indonesian Institute of Sciences (LIPI), confirmed that such a system could be reliably secured, but he also said that an independent and transparent agency was needed to audit the system before it was implemented and to deal with any problems that might arise after it was up and running, including data theft.
Published in vivanews (Jufri, 11 August 2009)
Freedom Institue mengusahakan lingkungan yang subur bagi lahirnya keprintisan, pencapaian, maupun pengabdian di bidang pemikiran sosial, kesusastraan, kedokteran, sains dan teknologi. Usaha ini merupakan bagian dari tujuan kami yang lebih luas, yaitu memajukan kehidupan pemikiran, eksperimen dan penciptaan di Indonesia. Kami percaya bahwa kehidupan intelektual yang bebas, sarat dengan perdebatan yang produktif, penuh antusiasme dan dilandasi oleh ingritas yang merupakan penyangga kuat kehidupan demokrasi.
Tradisi penghargaan atas karya pemikiran, keilmuan dan kesenian sudah menjadi praktik lazim dalam dunia intelektual. Penghargaan berskala Internasional seperti Hadiah Nobel menjadi tolak ukur bagi pencapaian di bidang-bidang sastra, kimia, fisika, ilmu kedokteran, ekonomi dan perdamaian. Tradisini serupa juga dikenal di Indonesia, meski belum mengakar dan mencapai reputasi yang kokoh. Sejumlah lembaga atau pribadi negeri kita juga telah merintis pemberian penghargaan di bidang kreativitas akal budi ini dengan Penghargaan Achmad Bakrie sejak 2005.
Kami meneruskan tradisi pemberian penghargaan di bidang kreativitas akal budi ini dengan Penghargaan Achmad Bakrie sejak 2003. Penghargaan ini diberikan setiap tahun menjelang Hari Kemerdekaan.
Para pemenang penghargaan Achmad Bakrie sejak 2003 adalah Ignas Kleden (bidang pemikiran sosial) dan Sapardi Damono (kesusastraan); pada 2004, Nurcholish Madjid (pemikiran sosial) dan Goenawan Mohammad (kesusastraan); pada 2005 Sartono Kartodirjo (pemikiran sosial); pada 2006 Arief Budiman (pemikiran sosial), Rendra (kesusastraan) dan Iskandar Wahidah (kedokteran) dan; pada 2007, Frans Magnis-Suseno (pemikiran sosial), Putu Wijaya (kesusastraan), Sangkot Marzuki (kedokteran), Jorga Ibrahim (sains), dan Balai Besar Padi (teknologi).
Adapun pemenang tahun 2008 adalah Taufik Abdullah (pemikiran sosial), Sutardji Colzoum Bachrie (kesusastraan, Mulyanto (kedokteran), Laksana Tri Handoko (sains) dan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (teknologi).
Published in
Kompas (Budi Suwarna/Dahono Fitrianto/Lusiana Indriasari, 12 April 2009)
Ketika memutuskan menjadi peneliti, mereka sudah tahu bakal berkutat di dalam laboratorium yang kaku, kegiatan lapangan, dan tenggelam di antara tumpukan buku. Mereka juga sudah tahu bahwa menjadi peneliti di negeri ini sulit menjadi kaya raya. Harap maklum, gaji kebanyakan peneliti di sini baru cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Sejak 1996, Basril Abbas terlibat dalam proyek bank jaringan yang dikembangkan Badan Tenaga Nuklir (Batan). Hari-harinya banyak dia habiskan di laboratorium untuk mengumpulkan, meneliti, dan memproses berbagai jaringan tubuh manusia dan hewan, seperti jaringan tulang dan amnion (selaput ketuban). Jaringan tulang digunakan untuk menyembuhkan penyakit tulang, sedangkan amnion untuk luka bakar.
âSaya bekerja di laboratorium sekitar 4-5 jam sehari. Kalau ada pekerjaan di laboratorium yang tidak bisa ditinggal, saya lembur,â ujar Basril di kantor Batan di Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Laboratorium tempat Basril bekerja sederhana saja. Hanya ada beberapa lemari, mesin, dan lemari pendingin. Catnya serba putih. Suasananya sunyi, kaku, dan dingin.
Jika tidak ada kegiatan di laboratorium, Basril duduk di meja kerja untuk membuat laporan hasil penelitian. Meja kerjanya terletak di ruangan berukuran sekitar 4 x 6 meter. Di sana masih ada lima meja kerja peneliti lain, seperangkat kursi tamu sederhana, dan rak buku yang saling berimpitan. Suasananya agak sesak dan berantakan.
Sekilas aktivitas sehari-hari Basril tampak monoton. Datang pukul 08.00 dan pulang pukul 16.00. Kalau tidak di laboratorium, dia berkutat menulis laporan di meja kerja. Yang dia teliti sejak tahun 1996 pun tak beranjak dari jaringan tubuh manusia dan hewan.
Apa tidak bosan? âTidaklah. Itu kan sudah pekerjaan sehari-hari,â katanya.
Seperti Basril, peneliti di Lembaga Biologi Molekuler Eijkman, Rintis Noviyanti (40), juga tidak ada bosannya meneliti nyamuk malaria sejak 1993 sampai sekarang. Setahun sekali, selama dua bulan, ia keluar masuk daerah-daerah yang banyak nyamuk malarianya, seperti Timika (Papua) dan Sumba (NTT), untuk mengumpulkan sampel. Risikonya, kapan saja Rintis bisa terjangkit malaria.
Sepulang mengumpulkan sampel, doktor biologi molekuler parasit malaria dari University of Melbourne, Australia, ini menenggelamkan diri di laboratorium 5-6 jam sehari. Setelah penelitian usai, Rintis berkutat di ruang kerjanya untuk menulis paper hasil penelitian. Selama 17 tahun meneliti malaria, dia telah memublikasikan enam hasil penelitiannya di jurnal internasional.
Untuk menekan kejenuhan bekerja, Rintis mengisi waktu senggangnya dengan nonton film, mendengarkan musik, dan belanja di mal. âBiar hidup gue seimbang. Kalau enggak gitu, enggak asyik ha-ha-ha,â ujar peneliti yang tampak gaul dan suka berbicara elu-gue ini.
Soal gaji
Apa sebenarnya yang dicari para peneliti dengan menenggelamkan diri bertahun-tahun di laboratorium atau lapangan?
Rintis mengatakan, dia mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul seputar malaria. Sialnya, semakin mendalami malaria, pertanyaan yang muncul justru semakin banyak. Ini yang membuat Rintis penasaran. âSampai sekarang gue bertanya-tanya mengapa vaksin malaria belum ada,â ujarnya.
Penelitian memang seperti kegiatan tanpa ujung. âSelama dunia berputar, hasil sebuah penelitian terus dikembangkan lagi. Saya dulu melanjutkan penelitian orang lain. Kalau saya pensiun, penelitian ini akan dilanjutkan peneliti lain,â ujar Basril.
Sri Sunarti Purwaningsih, peneliti bidang kependudukan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan, peneliti pada dasarnya mengabdi pada ilmu pengetahuan. âKami enggak mikirin duit,â katanya.
Mungkin itu sebabnya peneliti di Indonesia tidak bisa kaya. Apalagi, gaji penelitiâterutama yang berstatus pegawai negeri sipil (PNS)âtidak besar. Sri Sunarti tidak bersedia menyebutkan berapa gajinya sebagai peneliti berstatus PNS. Namun, dia memberikan gambaran, gajinya tidak cukup untuk membeli buku-buku ilmu pengetahuan yang mahal-mahal.
âBuku (terbitan luar negeri), ibaratnya, seharga 100 dollar-an (sekitar Rp 1.100.000), gaji cuma Rp 3 juta. Kalau beli pakai kocek pribadi, saya kewalahan.â
Basril mengatakan, gajinya hanya cukup untuk kebutuhan keluarganya dengan tiga anak. Itu pun kadang kurang. âWaktu anak kedua saya masuk SMA, saya harus menghadap kepala SMA meminta keringanan uang pangkal,â kata Basril, peneliti berstatus PNS dengan Golongan III D.
Rintis menambahkan, gaji sebagai peneliti di Eijkman juga tidak besar. âMasih jauhlah dibanding gaji teman-teman saya yang bekerja di perusahaan multinasional,â ujarnya.
Laksana Tri Handoko, peneliti di Pusat Penelitian Fisika LIPI yang berkantor di Serpong, Banten, justru menepis anggapan bahwa gaji peneliti kecil. Peneliti berpendidikan S-3 dengan status PNS Golongan III C, gaji dasarnya memang hanya Rp 1,7 per bulan. Namun, mereka masih mendapat tambahan dari honor penelitian.
Untuk peneliti pemula (kategori terendah), honor penelitiannya Rp 27.500 per jam dengan batasan maksimal empat jam per hari atau 20 jam per minggu. âDari satu judul penelitian saja, seorang peneliti muda sudah mendapat tambahan Rp 2,2 juta per bulan. Padahal, dalam setahun seorang peneliti rata-rata menggarap dua judul penelitian,â katanya.
Berdasarkan pengalaman Handoko, peneliti pemula di timnya rata-rata mengantongi uang Rp 6 juta per bulan. Kalau dia mengajar di universitas, pemasukannya bertambah lagi.
Meski begitu, kata Handoko, standar gaji peneliti di Indonesia memang tidak memungkinkan peneliti menjadi kaya raya, tetapi juga tidak akan membuat miskin. Handoko sendiri hidup sederhana. Rumahnya di Jalan Merdeka, Depok II, tidak ada sentuhan kemewahan sedikit pun, tetapi juga tidak ada tanda-tanda kemiskinan.
Bagi sebagian peneliti, hambatan utama mereka dalam berkarier bukan masalah gaji kecil, melainkan dana penelitian yang minim dan dukungan pemerintah yang kurang. Sri Sunarti mengungkapkan, berdasarkan hitungan Dikti Depdiknas, dana untuk satu orang peneliti per proyek penelitian adalah Rp 50 juta. âTetapi di LIPI masih sekitar Rp 26 juta,â katanya.
Basril mengeluhkan hal yang sama. Karena dana minim, katanya, sering kali penelitian molor. Harusnya bisa dua tahun selesai, molor jadi bertahun-tahun.
Handoko tidak mempersoalkan minimnya dana penelitian. Kalau dana besar tetapi sumber daya manusianya belum siap melakukan riset berkualitas, malah mubazir.
âMakanya, saya tidak pernah protes atau menuntut DPR agar menaikkan dana penelitian di APBN. Lebih baik tingkatkan dulu SDM-nya.â
Handoko menambahkan, di Indonesia peneliti belum dievaluasi berdasarkan sistem penilaian karya. âAkibatnya, mau penelitiannya berkualitas atau tidak, hasilnya dimuat di jurnal bergengsi internasional atau jurnal ecek-ecek lokal, honornya sama. Itu yang membuat peneliti kurang termotivasi untuk membuat penelitian kelas dunia,â ujar Handoko.
Sebagian peneliti juga berharap pemerintah ikut menyosialisasikan hasil penelitian mereka ke masyarakat agar bisa dimanfaatkan. Kalau tidak, kasihan peneliti. Sudah menghabiskan umur di laboratorium yang sunyi, eh... hasil penelitiannya hanya masuk laci.
Published in
Kompas (Budi Suwarna/Dahono Fitrianto/Lusiana Indriasari, 12 April 2009)
Peneliti banyak jumlahnya, subjek penelitian pun bisa beraneka ragam. Asal mau meneliti dan menguasai bidang garapan, penelitian bisa jadi tidak terlalu sukar. Persoalannya, peneliti juga dituntut untuk selalu menemukan hal-hal baru, atau melengkapi penelitian yang telah ada. Masih ada satu syarat lagi, hasil penelitian itu haruslah bermanfaat.
âJadi enggak asal meneliti, kalau tidak bermanfaat ya buat apa,â kata peneliti kependudukan di Pusat Penelitian Kependudukan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Sri Sunarti Purwaningsih.
Ia saat ini tengah sibuk mempersiapkan proyek penelitian kompetitif sesuai rencana strategis LIPI yang dibikin lima tahunan. Ia akan meneliti soal kemiskinan dan pelayanan kesehatan untuk penduduk miskin perkotaan.
âMau penjajakan dengan pemda Kota Bandung karena menjadi satu dari delapan kota besar di Indonesia yang pertumbuhan penduduknya tinggi. Tahun depan ke Makassar dan tahun ketiga bikin model antara dua kota itu,â kata Narti. Untuk penelitian di Bandung ini, Narti dan empat teman lain mendapatkan kucuran dana Rp 240 juta.
Sebelumnya sudah seabrek penelitian dilakukan Narti. Misalnya, pada tahun 2006 ia meneliti kesehatan reproduksi di dua daerah perbatasan, yakni Sanggau di Kalimantan Barat dan Kota Batam di Kepulauan Riau. âSaya mengambil contoh perbatasan darat dan perbatasan laut,â kata Narti yang menjadi koordinator proyek. Ia juga meneliti kaitan kesehatan reproduksi dengan jender dan otonomi daerah beserta implementasinya di Mataram Nusa Tenggara Barat dan juga Jambi.
âPenelitian seperti itu mungkin pernah dilakukan. Tantangannya, bagaimana kami bisa mendapatkan kebaruan,â ujar doktor bidang demografi dari The Australian National University, Canberra, Australia, ini.
Bank jaringan
Penelitian tentang jaringan oleh Basril Abbas, Kepala Kelompok Bahan Kesehatan Bidang Proses Radiasi Badan Tenaga Nuklir (Batan), di Bank Jaringan Batan juga terus dikembangkan. Padahal, ia beserta timnya menelitinya sejak tahun 1996. Hal-hal baru bisa muncul di dalam penelitian.
Bank Jaringan adalah satu institusi yang tugasnya mengumpulkan dan memproses jaringan yang diambil dari tubuh manusia atau hewan yang telah mati, untuk kemudian ditransplantasikan di tubuh orang yang membutuhkan. Misalnya, jika ada orang terkena kanker tulang sehingga tulangnya rusak, dokter tidak perlu serta-merta mengamputasi tulang tersebut. Jaringan tulang yang rusak bisa diganti dengan jaringan tulang sapi atau manusia. Nanti jaringan tulang baru akan muncul lagi.
Jaringan di sini bisa jaringan amnion atau selaput ketuban manusia, jaringan tulang manusia dan sapi, dan jaringan peristeum atau jaringan yang menempel antara tulang dan daging. Semua jaringan disimpan di dalam kotak pendingin bersuhu minus 80 derajat celsius.
Peneliti lain, Harianto Hardjasaputra, guru besar Teknik Sipil Universitas Pelita Harapan, pernah meneliti beton bermutu sangat tinggi (ultra high performance concrete) pada tahun 2008 sewaktu menjadi peneliti tamu di University of Kassel, Jerman. Hasil penelitiannya sudah diaplikasikan pada jembatan Gartnerplatz, yakni jembatan pejalan kaki sepanjang 132 meter di Kassel, Jerman.
Harianto berencana meneliti beton mutu sangat tinggi dengan material lokal dari Indonesia.
Jurnal internasional
Hasil penelitian para peneliti banyak yang dimuat di jurnal internasional. Penelitian Basril, misalnya, dimuat di jurnal Cell and Tissue Bank serta di kumpulan tulisan World Scientific. Lalu, hasil penelitian Laksana Tri Handoko, Kepala Group Penelitian Fisika Teoritik dan Komputasi, Pusat Penelitian Fisika-LIPI, Puspiptek Serpong, sudah beberapa kali diterbitkan di jurnal ilmiah bergengsi, seperti Physical Review, Journal of Modern Physics, Nuclear Physics, dan IEEE Journal. Sebagian besar penelitiannya berada di ranah fisika teoritik garda depan, yang judul-judulnya saja susah diterjemahkan ke dalam bahasa sehari-hari.
Kita tengok saja makalahnya yang dimuat di jurnal Physical Review D65 tahun 2002 (Phys.Rev. D65 [2002] 077506, ditulis bersama CS Kim dan T Yoshikawa), berjudul âLongitudinal polarization asymmetry of leptons in the pure leptonic B decaysâ. Handoko aktif mencari Grand Unified Theory (GUT), sebuah teori pamungkas yang akan bisa menjelaskan asal-usul semua partikel dan materi yang ada di alam semesta ini.
Handoko, yang meraih gelar S1-S3 dari Hiroshima University, Jepang, ini sehari-hari menggeluti tiga bidang, yakni fisika parlemen elementer, sains nonlinier (biofisika), dan ilmu komputasi (simulasi, data mining, dan manajemen informasi).
Handoko juga menulis tiga buku serta meraih penghargaan antara lain Habibie Award untuk kategori Ilmu-ilmu Dasar (2004) dan Achmad Bakrie Award untuk kategori Sains (2008).
Indra Bachtiar, peneliti utama di Mochtar Riady Institute for Nanotechnology (MRIN), bahkan pernah menjadi peneliti di National Heart Lung and Blood Institute di Maryland, Amerika Serikat. Setelah bergabung dengan MRIN, lulusan bidang Biologi Molekular Universitas Tohoku, Jepang, ini meneliti kombinasi glycoprotein dan fetoprotein sebagai alat untuk meningkatkan diagnostik kanker hati.
Hasil penelitian telah dipublikasikan secara internasional pada tahun 2007-2008. âDiharapkan deteksi dini terhadap kanker bisa dilakukan secepat mungkin,â kata Indra. (Budi Suwarna/Dahono Fitrianto/Lusiana Indriasari)
Published in
Biskom (April 2009)
xxxxxxxxx xxxxxxxxxxxx
Published in
Jakarta Globe (Camelia Pasandaran, 23 March 2009)
Efforts by the General Elections Commission, or KPU, to prepare for next monthâs voting were once again cast in doubt as KPU officials and experts disagreed over whether the information technology network to transmit poll results would be ready in time.
âWeâre expecting the tender winner to finish installing the network system by the end of this week,â Husni Fami, who heads the KPUâs IT technical team, said on Sunday.
Laksana Tri Handoko, an IT network analyst of the Indonesia Institute of Sciences, or LIPI, which helped develop the technology in question, took issue with that statement. âThere is no way you can install it all in a week like they said,â Laksana said.
He explained: âThey must bring and install the equipment in all district commission offices, such as in Papua and other provinces that are not easy to reach. They surely cannot use the old network because itâs a different system, the maintenance for which would be costly. They have to develop new network.â
The IT network will be used to send vote counting results from the various district election commissions to Jakarta. The network will connect the central office in Jakarta to all districts, enabling election officials to instantly access results.
The KPU announced on Thursday that PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, or Telkom, won the bid to provide and install the network, create a disaster recovery center and call center, and maintain the network.
The project is valued at Rp 14.6 billion ($1.2 million). âHowever, with the limited infrastructure, the provider [Telkom] would not be able to work alone. I believe it will ask other providers, such as Indosat and Excelcomindo to help them build the network. The three providers have worked together several times for these kind of projects,â Laksana said.
As of press time, Telkom could not be reached for comment on the matter.
However, Hadar Gumay, chairman of the Center for Electoral Reform, said that even if the installation was finished this week as the KPU said, the little time left for testing the system could miss significant errors.
âYou cannot run the trial of a new system only a week before the elections. Thatâs just impossible. What if the system doesnât run well?â he said.
Published in Kedaulatan Rakyat (9 February 2009)
Dinara Enggar Prabhakti siswa SMAN 1 Yogya juarai Olimpiade Komputer yang diselenggarakan STMIK Akakom, Sabtu (7/2) di ruang presentasi gedung laboratorium terpadu Kampus Akakom. Dinara berhak mendapat tropi dari LIPI dan uang pembinaan. Juara II-III berturut-turut diraih Toha Lukman Hakim dan Akbar Dharmaputra dari SMAN 3 Yogya. Sedang harapan I dan II diraih Muh Ghozy Ul-Haq dan Fanni Sayuti siswa SMAN 1 Bantul. Olimpiade tersebut diselenggarakan dalam rangka memperingati Dies Natalis ke-30 STMIK Akakom. Ketua panitia Sigit Anggoro ST MT Mengatakan, olimpiade diikuti 47 siswa SMA/SMK se-Jateng DIY. Selain itu juga diselenggarakan workshop e-learning yang diikuti guru pendamping siswa. Dalam olimpiade itu, 90 menit pertama siswa langsung berhadapan dengan komputer dan mengerjakan 70 soal multiplechoice. Kemudian 90 menit kedua siswa diminta praktik membuat program. Olimpiade dinilai oleh Dr LT Handoko selaku dewan juri dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Melalui kegiatan ini, Sigit mengatakan, STMIK akakom ingin menjalin sinergi dengan SMA/SMK. ~Di perguruan tinggi diajarkan soal programming. Kami ingin ada kesinambungan dengan SMA/SMK. Selain itu lewat olimpiade ini sekaligus dapat memberikan gambaran kepada siswa ke mana mereka bisa melanjutkan studi setelah lulus nanti,~ kata Sigit. Olimpiade kali ini merupakan kegiatan ilmiah di bidang pemrograman komputer sehingga kegiatannya di bawah payung Pusat Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (P3M) STIMIK Akakom. Tahun ini genap 30 tahun STMIK Akakom sebagai perguruan tinggi komputer pertama di Jawa Tengah dan DIY mengabdi untuk pengembangan pendidikan teknologi informasi. Olimpiade komputer rencananya akan kami selenggarakan setiap tahun. (R-4/Jay)-c
Published in STMIK Akakom (7 February 2009)
Olimpiade komputer 2009 ini diselenggarakan oleh STMIK AKAKOM untuk memeriahkan rangkaian acara ulang tahun STMIK AKAKOM yang ke-30 dan sekaligus sebagai ajang pembuktian diri bagi siswa-siswa SMU/SMA/SMK untuk menunjukkan kemampuan belajar dalam bidang teknologi informasi.
Acara ini terselenggara atas kerjasama STMIK AKAKOM dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Jakarta dan Departemen Pendidikan Pemuda dan Olahraga propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.
Dewan yuri terdiri dari
Olimpiade ini menghasilkan juara 1, 2, 3 dan harapan 1, 2 sebagai berikut
Published in Open Access News (Peter Suber, 26 January 2009)
L. T. Handoko, A New Approach for Scientific Data Dissemination in Developing Countries: A Case of Indonesia, Earth, Moon, and Planets, January 14, 2009. Only an abstract and short preview are free online, at least so far.
Abstract: This short paper is a progress report on our experiences in Indonesia of collecting, integrating and disseminating both global and local scientific data across the country through the web. Our recent efforts are concentrated on improving local public access to global scientific data, and encouraging local scientific data to be more accessible for global communities. We have maintained a well-connected infrastructure and web-based information management systems to realize these objectives. This paper is especially focused on introducing the ARSIP system for mirroring global data and sharing local scientific data, and the newly developed Indonesian Scientific Index for integrating local scientific data through an automated intelligent indexing system.
PS: Does anyone know what "ARSIP" stands for in this context? Is it the old US military acronym for "Accuracy, Reliability, Supportability Improvement Program" or is it something more data-specific?
Update.
Update (1/27/09)
Update (3/8/09)
Published in Kompas (Salomo Simanungkalit, 9 January 2009)
Saya dengar dari seorang kawan, pengajaran fisika di perguruan tinggi di Malaysia berlangsung dalam bahasa Inggris. Dengan mempertahankan istilah dan konsep fisika dalam bahasa Inggris, begitulah tujuannya, mahasiswa dan sarjana mereka dapat serta-merta dengan lekas menyerap perkembangan ilmu ini. Setakat ini gerak maju ilmu alam memang dipelopori fisikawan di negara- negara yang sainsnya berada di garda depan. Amerika Serikat yang berbahasa Inggris boleh dibilang sang jawara sekarang.
Saya tidak setuju dengan kebijakan pengajaran ala negeri jiran itu. Fisikawan-fisikawan terbaik kita seperti Achmad Baiquni, Moehammad Barmawi, Tjia May On, Pantur Silaban, Hans Jacobus Wospakrik, Erwin Sucipto, hingga Laksana Tri Handoko dulu menyerap berat jenis, gaya tarik-menarik, lintasan peluru, perpindahan panas, dan sebagainya~yang sebagian merupakan ciptaan Komisi Istilah pada akhir 1940-an~ketika memahami ilmu alam di masa-masa pertama. Mereka toh tak canggung belajar fisika lanjut di bawah bimbingan fisikawan sekelas pemenang Nobel.
Dalam mempelajari ilmu apa pun, sikap utama yang perlu dianut adalah cari dahulu ilmu dan kebenarannya, maka semuanya akan ditambahkan kepadamu. Yang utama adalah pemahaman, bukan istilah yang dipertahankan dalam bahasa sononya. Kegenitan seperti yang dilakukan jiran kita hanya memiskinkan lumbung bahasa setempat menampung segala gagasan cemerlang membongkar rahasia semesta.
Maka, ketika membaca Jaya Suprana membahas ungkapan terkenal survival of the fittest gubahan Herbert Spencer yang dikait-kaitkan dengan Teori Evolusi Charles Darwin, sedikit terganggu saraf kebahasaan saya. Bahwa sahabat dekat Gus Dur ini menjelaskan dengan jitu asal-usul slogan itu dan mengartikannya dengan jelas, tentu saja kabar baik bagi sebagian orang Indonesia yang salah memahaminya sebagai ~si kuatlah yang dapat bertahan~. Fit dalam konteks ini bukan kuat, melainkan sesuai, selaras, pas, atau cocok. Makna yang betul dari ungkapan itu tentulah ~yang mampu bertahan hidup adalah yang paling mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan hidupnya~.
Sepanjang artikelnya, Jaya membiarkan slogan itu tanpa terjemahan: survival of the fittest. Kok tak ada versi bahasa Indonesianya, ya?
Kamus Besar Bahasa Indonesia susunan Pusat Bahasa baru di dalam edisi ketiga memunculkan lema sintas. Makna kata berkelas adjektiva ini: ~terus bertahan hidup~ atau ~mampu mempertahankan keberadaannya~. Yang menyanyi adalah penyanyi; yang menyesuaikan diri, ya, penyesuai. Maka, survival of the fittest bisa direkayasa dalam bahasa Indonesia sebagai kesintasan penyesuai.
Menerjemahkan istilah atau ungkapan ilmiah, bahkan slogannya, dalam bahasa setempat perlu sekali membantu seorang pelajar dan terajar yang tersesat memahami dengan tepat sebuah gagasan dalam ilmu pengetahuan. Tak semua memang harus diterjemahkan. Ada istilah ilmu yang punya latar sejarah kuat yang tak perlu dialihbahasakan. Spektrum (Newton) dan quark (Gell-Mann). Ini hanya secuil contoh.