main article site » |
Published in Tempo (44/XXXIV, 26/12/2005 - 01/01/2006, Yandhrie Arvian - Sunudyantoro - Ayu Cipta)
Ribuan kecelakaan di jalan raya terjadi akibat pecah ban. Penyebabnya sepele tapi sering dilupakan pada saat liburan seperti sekarang ini.
TITIK-titik keceriaan meletik di wajah-wajah yang berlindung di dalam bus Arimbi Jaya. Joyo, 30 tahun, ada di antara deretan kepala yang penuh senyum serta bangku-bangku usang bus.
Sabtu pagi pada awal December itu adalah hari melepas segala kesumpekan hidup buat Joyo dan kawan-kawannya, yang bekerja di pabrik speaker. Kecilnya upah untuk sementara dilupakan dalam laci-laci kantor serikat buruh. Di kepala mereka cuma melayang-layang bayangan aroma kebun teh dan dinginnya udara kawasan Puncak, Bogor. Itulah hari pelesiran bagi 48 karyawan PT Inti Karya Utama.
Dari wilayah pinggiran Tangerang, bus pun meluncur dengan memboyong serta tawa dan kebahagiaan Joyo dan teman-teman. Tapi gelak tawa itu hanya berlangsung dalam hitungan menit. Baru beberapa ratus meter lepas dari pintu tol Cikupa, Tangerang, menuju Jakarta, tiba-tiba terdengar suara letusan. Dar!
Sejurus kemudian mereka terkejut melihat sebuah truk penuh pipa besi, dari arah berlawanan, oleng, menerobos pagar pembatas tol dan akhirnya terkapar di jalur tol yang berlawanan. Posisinya persis melintang di depan bus Arimbi yang melaju kencang.
"Awas!" suara Joyo melengking. Tapi Dulgani, sopir Arimbi, tak sempat menginjak rem. Tabrakan hebat pun terjadi saat pagi baru mekar. Delapan orang tewas seketika. Di antara puing-puing kaca dan jok bus terserak korban yang merintih-rintih. Joyo selamat.
Petugas Jasa Marga segera turun tangan. Setelah mengevakuasi korban, mereka menyelidiki asal-muasal tabrakan. Rupanya, truk mencelat karena pecah ban, yang letusannya terdengar sebelum truk menghantam pagar tol.
Kecelakaan yang terjadi pada awal December itu menambah deret petaka akibat pecah ban. Sepanjang 2004, menurut hitungan Jasa Marga, telah terjadi 673 kecelakaan di jalan tol akibat pecah ban. Bahkan, dalam lima tahun terakhir, kecelakaan itu berjumlah 3.287 kasus. Jumlah itu meliputi seluruh ruas tol yang ada di Jawa dan tol Belawan-Medan-Tanjung Morawa, Sumatera Utara.
"Jumlah kecelakaan di jalan tol akibat ban meletus menempati urutan kedua, setelah kelalaian pengemudi," kata Zuhdi Siregar, Kepala Humas PT Jasa Marga (Persero).
Ironisnya, meskipun faktor ini sering menjadi pencabut nyawa, banyak pengemudi yang tak acuh terhadap kondisi ban. Banyak pengemudi yang menjalankan mobil, meskipun ban sedikit kempis.
Padahal, menurut Suwito Sumargo, pakar ban dari Surabaya, kebanyakan penyebab ban meletus di jalan tol adalah akibat tekanan angin kurang. "Sehingga ban tidak kuat lagi menahan beban, lalu pecah," kata Suwito, Kepala Bidang Standardisasi dan Pelatihan Ikatan Teknisi Otomotif Indonesia cabang Jawa Timur.
Mengapa ban kurang angin menjadi gampang pecah? Pria yang menggeluti ban sejak SMP itu punya jawabannya. Kata dia, bila tekanan angin kurang, dinding ban bagian bawah akan menggelembung. Namun, ketika ban bagian bawah ini berputar ke atas, dinding ban kembali normal. Bila ban berputar cepat, gerakan menggelembung dan menutup akan terjadi bergantian dengan cepat. Gerakan inilah yang membuat ban mudah retak, lapisan benang putus, dan akhirnya, buum!
Penyebab lain pecah ban adalah panas. Menurut L.T. Handoko, pakar fisika teori dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), panas di dalam ban akan meningkat karena gaya gesek antara permukaan jalan dan telapak ban. Semakin cepat ban berputar, udara di dalam ban semakin panas. Bahkan, tak jarang suhunya bisa mencapai 50 hingga 60 derajat Celsius.
"Suhu yang meningkat itu akan membuat udara memuai dan tekanan angin di ban naik," kata Handoko, yang juga penggemar otomotif. Udara yang memuai di dalam ban akan berbahaya bila kondisi ban sudah tipis atau terdapat tambalan.
Di jalan berlapis beton seperti di tol Jakarta-Bandung, Cipularang, gaya gesek permukaannya akan lebih besar ketimbang jalan aspal. Gaya gesek besar itu bisa mendatangkan petaka. Gesekan itu bukan hanya membuat ban cepat tipis tapi juga bisa menarik tambalan sehingga robek kembali. "Proses perobekan," kata Handoko, "akan semakin cepat bila mobil berkecepatan tinggi." Itulah yang membuat ban meletus.
Sebenarnya, cara mengatasi memanasnya suhu ban itu bisa dengan mengisikan nitrogen murni ke dalam ban dan bukan udara biasa. Bila seseorang mengisi ban dengan udara biasa, hakikatnya dia memasukkan nitrogen 70 persen, oksigen 20 persen, dan sisanya gas-gas lain.
"Sifat nitrogen murni itu cepat melepas panas," kata Handoko. Alhasil, ban berisi nitrogen tidak mudah panas. Ini cocok untuk sopir yang punya kebiasaan ngebut atau bepergian jauh.
Menurut Suwito, ban yang berisi nitrogen murni juga terasa lebih empuk ketimbang ban biasa. "Rasanya seperti efek pegas pada kasur busa," ujarnya. Hal ini karena molekul nitrogen lebih besar dan renggang ketimbang molekul oksigen. Besarnya ukuran molekul juga membuat nitrogen tak mudah menembus pori-pori ban. "Tak aneh jika ban nitrogen jarang kempis, kecuali tertusuk paku."
Sayangnya, kata Suwito, saat ini banyak pengendara yang cuek bebek terhadap kondisi ban. Mereka sering kali langsung memacu mobilnya tanpa memeriksa ban. Padahal, mengecek ban adalah hal vital, terutama saat bepergian jauh atau pelesiran di musim liburan seperti sekarang ini.
Published in Hiroshima News (25 December 2005, Mie Hirota)
Published in Pikiran Rakyat (15 December 2005, Muhtar Ibnu Thalab)
MESKI sama-sama sebagai pilar utama perkembangan sains modern, dalam praktiknya fisika teori dan bioscience adalah dua kajian ilmu tidak saling bersinggungan. Ada kesan, keduanya berjalan sendiri-sendiri, sesuai kaidah yang dimilikinya. Bahkan, dalam beberapa peristiwa, keduanya memperlihatkan wujud yang tak bersahabat. Dari sinilah muncul pertanyaan, mungkinkah keduanya bisa bekerja sama dan berkonvergensi pada level kuantum dan organisme elementer sehingga kelak akan muncul sebuah era biokuantum?
Pertanyaan inilah yang coba dicari jawabannya oleh Dr. Tri Laksana Handoko bersama koleganya di Grup Fisika Teoritik dan Komputasi Pusat Penelitian Fisika LIPI. Teori ke arah fusi dua ilmu dasar itu pun dipaparkan Handoko di depan peserta "Meeting of Indonesian Scientist in the 21st Century: Toward Bright and Brilliant Indonesia" di Widya Graha LIPI Jakarta, 18-19 November 2005. Puluhan ilmuwan hadir dan mendengarkan teori tersebut, termasuk Prof. Douglas Dean Osheroff, guru besar fisika Universitas Stanford, AS, yang juga peraih Nobel Fisika 1996.
Menurut Handoro, seluruh teori sains berbasis teori interaksi di fisika partikel. Teori interkasi ini sudah diaplikasikan sejumlah ilmuwan fisika sejak awal abad ke-20. Mereka mencoba menggali pemahaman baru dinamika organisme hidup elementer seperti DNA. Asumsinya, seluruh materi makroskopis pasti terbentuk dari materi mikroskopis. Atau dengan kata lain, teori pada level mikroskopis bisa digunakan untuk menjelaskan fenomena makroskopis.
"Selama ini perkembangan ilmu hayati (bioscience) mengacu pada trial and error, semuanya selalu harus melalui percobaan karena tak tahu sifat dasar. Makanya, perkembangan ilmu hayati relatif lamban. Nah, dengan sifat dasar fisika pada level elementer, kita bisa memahami mekanisme organisme elementer dan fenomena organisme hidup bisa dijelaskan dan diprediksi dengan akurat," kata Handoko.
Pendekatan yang sama coba dilakukan Handoko dan grup fisikanya. Dalam hal ini, pendekatan dilakukan berbasis interaksi dan dinamika fluida non-linier. Handoko berhasil mengembangkan metoda baru penanganan dinamika fluida dengan metoda yang telah dikenal di fisika partikel. Dengan memodelkan DNA sebagai materi yang berada dalam suatu medium yang dimodelkan sebagai fluida, diperoleh penjelasan teoritik penurunan besaran amplitudo dinamika DNA yang berperilaku sebagai gelombang soliton.
"Hasil ini merupakan satu contoh kecil kemungkinan konvergensi antara fisika teori dan bioscience pada level kuantum (fisika) dan organisme elementer (ilmu hayati). Ini bahkan berpotensi kemungkinan integrasi antara keduanya," kata pria yang hobi jalan-jalan ini.
HANDOKO dilahirkan 7 Mei 1968 dan dibesarkan di Lawang, sebuah kota kecil dekat Malang, Jawa Timur. Sejak kecil ia sangat menyukai fisika sehingga tak heran nilai mata pelajaran tersebut selalu tinggi. Hal sebaliknya, ia kurang menyukai kimia dan biologi. "Mungkin karena kimia terlalu banyak praktikumnya, sedangkan fisika teori, tidak ada. Makanya, saya pilih fisika," kata Handoko.
Setelah lulus SMA, Handoko diterima di Departemen Fisika ITB. Namun, ia hanya tiga bulan mengenyam bangku kuliah di "kampus Ganesha" itu. Tawaran beasiswa dari Yayasan Habibie lebih menarik perhatiannya. Meninggalkan ITB, Handoko pun menghabiskan seluruh masa studinya di bidang fisika teori partikel elementer sejak S1 sampai dengan S3 di Jepang. Ia lulus S1 Fisika dari Universitas Kumamoto, Jepang (1993). Setelah itu, lulus S2 (1995) dan S3 (1998) Fisika Partikel Elementer Teoritik di Universitas Hiroshima, Jepang.
Tak hanya di kedua universitas tersebut, Handoko kemudian berkelana menuai pengalaman di sejumlah lembaga riset terkemuka di bidang fisika partikel. Sebut saja DESY di Hamburg (Jerman), ICTP Trieste (Italia), KEK Tsukuba (Jepang), dan CERN Jenewa (Swiss). Sampai saat ini ia masih terus melakukan interaksi dengan komunitas global. Termasuk menjadi anggota sejumlah organisasi profesi seperti Japan Physical Society (JPS), American Physical Society (APS), Japan Theoretical Particle Physicist Group, Himpunan Fisika Indonesia (HFI), dan Grup Fisikawan Teoritik Indonesia (GFTI). Karena itu, tidak mengherankan bila dalam setahun selalu beberapa kali ke luar negeri untuk melakukan kunjungan riset maupun seminar.
Handoko juga memimpin Grup Fisika Teoritik dan Komputasi Pusat Penelitian Fisika LIPI, yang merupakan grup penelitian ilmu dasar satu-satunya di lembaga riset pemerintah di Indonesia. Bersama anggota grup tersebut, Handoko melakukan riset berbasis pengetahuan di fisika partikel. Antara lain kajian teoritik fenomena non-linier, komputasi lanjut dan manajemen data selain bidang utamanya di fisika partikel.
Selain di LIPI, Handoko juga aktif di grup penelitian yang sama di Fisika Universitas Indonesia (UI). Grup penelitian tersebut berada di bawah Grup Fisika Nuklir dan Partikel. Grup penelitian di Fisika UI memfokuskan penelitian fisika partikel. Sedangkan grup penelitian di LIPI fokus pada komputasi dan manajemen data. Bahkan, bersama dengan salah satu mahasiswa S3-nya, Andreas Hartanto, Handoko telah mempublikasikan satu-satunya model Teori Penyatuan Agung (Grand Unified Theory) 'made-in ASEAN' dalam sejarah. Teori ini sudah dipublikasikan di jurnal terkemuka Physical Review D71 (095013) tahun ini.
Sejumlah penghargaan pun ia raih. Salah satunya adalah Habibie Award untuk Bidang Ilmu Dasar 2004. Selain itu, Handoko juga menerima penghargaan APICTA Indonesia untuk kategori Research & Development (2004) dan kategori Education & Training (2003). Sebelumnya, pada 2002 ia dinobatkan sebagai Peneliti Muda Indonesia untuk Bidang Ilmu Dasar.
Dengan prinsip open-minded dan tidak segan belajar hal baru bahkan dari mahasiswa, Handoko banyak berkiprah di bidang yang tampaknya "berbeda". Namun, dari yang "berbeda" itu menghasilkan aneka inovasi baru yang sebenarnya merupakan hasil aplikasi dari "pola pikir" dan pengetahuan dasar sebagai fisikawan teoritik. "Salah satunya adalah sistem database dan manajemen data yang telah diaplikasikan di aneka sarana ilmiah berbasis TI milik LIPI," jelas Handoko.
Jangan heran jika grup penulis di LIPI telah mendapatkan aneka penghargaan terkait TI, seperti APICTA 2003 dan 2004. Selain itu, grup tersebut juga menerima banyak mahasiswa tugas akhir dari jurusan informatika UI, STT Telkom, dan lain-lain. "Sampai-sampai bagi sebagian orang, saya lebih dikenal sebagai praktisi TI. Sebenarnya kajian terkait bioscience juga merupakan hasil interaksi aktif dengan mahasiswa S2 saya bernama A. Sulaiman," katanya.
Handoko sangat membanggakan para mahasiswanya. Bahkan kebanggaan tersebut lebih besar daripada terhadap karyanya sendiri. Ia mewajibkan seluruh mahasiswa S1 di bawah bimbingannya melanjutkan studi ke S2. Untuk kemudian melanjutkan studi ke luar negeri melalui aneka beasiswa yang diperjuangkan bersama untuk memperolehnya. Hasil pernikahannya dengan Laila Andaryani, seorang wartawan di sebuah majalah wanita ibu kota, Handoko dikaruniai seorang anak, Ashar Hadi (7).
Informasi lebih detail bisa dilihat di http://lt.handoko.net
Published in
Pikiran Rakyat (15 December 2005)
Fisika teori ? Bioscience ? Tentu siapapun, minimal pembaca setia media massa, sudah terbiasa mendengarnya. Tak pelak lagi, fisika teori yang merupakan kajian ilmu eksakta tertua telah jamak dikenal sebagai dasar dari semua peradaban manusia modern dewasa ini. Tak heran artikel populer fisika bertebaran di seantero dunia dengan topik beragam untuk berbagai tingkatan pembaca dan usia. Di Indonesia saja, setidaknya tercatat lebih kurang 500 artikel populer telah diterbitkan di berbagai media massa sejak tahun 2000 seperti tercatat di portal fisik@net (http://www.fisika.net). Ini masih ditambah dengan aneka buku populer untuk anak-anak serta aneka kegiatan lapangan, kompetisi fisika yang dimotori oleh kelompok Yohanes Surya dkk. Bahkan pada tahun-tahun terakhir ini seolah menjadi gelombang baru yang berpotensi mengubah cara pandang masyarakat awam terhadap fisika.
Dilain sisi, bioscience yang meliputi seluruh aspek kajian ilmu hayati (biologi, pertanian, kedokteran, dll) memiliki sejarah yang lebih panjang lagi, bahkan mungkin sejak awal keberadaan manusia. Manusia seolah ditakdirkan untuk selalu berupaya memahami diri dan mahkluk hidup di sekitarnya sebagai bagian dari tuntutan hidup untuk bertahan menghadapi keganasan alam. Namun, dibandingkan dengan tingkat kecepatan perkembangan teknologi yang dimulai dari fisika teori sejak era Newton, perkembangan pemahaman manusia akan dinamika dan mekanisme organisme sangat lambat. Bahkan sampai detik ini, pemahaman akan mekanisme organisme didasarkan pada kebiasaan, statistik maupun observasi langsung yang tentu saja bersifat subyektif. Ini bisa dilihat pada misalnya ilmu pengobatan, sehingga tidaklah mengherankan bila proses pengembangan suatu obat baru memerlukan waktu sangat lama dan percobaan dengan frekwensi dan sample dalam jumlah besar. Tidakkah ada cara lebih baik untuk mengatasi hal-hal semacam ini yang berujung pada produk akhir (misalnya obat) yang berharga mahal ?
Untuk itulah bioscience memasuki era baru di abad ini, yaitu dengan berusaha memahami mekanisme organisme hidup pada level yang lebih elementer seperti DNA dan gen. Hal ini bukan suatu hal mudah, tetapi penuh tantangan dan menjadi trend-setter dunia sains. Bahkan dewasa ini, melalui rekayasa biologi dan bioteknologi banyak dilakukan ujicoba pemakaian DNA untuk substitusi alat elektronik seperti transistor DNA dsb. Terobosan-terobosan semacam ini bahkan telah dirintis sebelum mekanisme DNA dalam organisme hidup dipahami sempurna. Inilah salah satu bentuk efek sampingan dari terobosan penelitian dasar.
Dipercaya bahwa memahami mekanisme organisme hidup akan jauh lebih mudah dengan mulai dari memahami elemen dasar pembentuknya seperti DNA diatas. Pola pikir semacam ini sebenarnya persis sama dengan apa yang dilakukan oleh para fisikawan teoritik pada awal perkembangan fisika partikel di awal abad 20. Dengan memahami partikel-partikel elementer pembentuk materi dan interaksi-interaksi yang bekerja diantaranya, manusia akhirnya mampu menjelaskan aneka fenomena alam. Ini bisa dipahami dengan mudah karena jumlah partikel elementer sangat terbatas, hanya 16 buah yang telah dikenal, dibandingkan dengan misalnya jumlah unsur kimia yang lebih dari seratus. Karena pada prinsipnya seluruh materi makroskopis pasti terbentuk dari materi mikroskopis, maka teori pada level mikroskopis harus bisa dipakai untuk menjelaskan fenomena makroskopis. Sehingga tidaklah mengherankan bila seluruh teori sains berbasis teori interaksi di fisika partikel.
Memasuki abad bioteknologi ini kemudian banyak melahirkan pionir-pionir yang mengimplementasikan teori interaksi di fisika partikel untuk menggali pemahaman baru akan dinamika organisme hidup elementer semacam DNA. Usaha ini banyak dirintis oleh para fisikawan teori dengan modal pola pikir diatas. Diyakini dengan pemahaman akan mekanisme organisme elementer, kelak diharapkan fenomena makroskopis organisme hidup bisa dijelaskan dan diprediksi dengan akurat dan mudah.
Hal yang sama juga dilakukan oleh penulis dengan memakai pendekatan baru berbasis interaksi dan dinamika fluida (cairan) non-linier. Dinamika fluida non-linier merupakan salah satu dari masalah pelik dalam fisika yang belum terpecahkan hingga saat ini. Meski demikian teori dan pemahaman dinamika fluida secara umum sudah dikenal luas dan diaplikasikan di berbagai aspek kehidupan umat manusia. Mulai dari teknik konstruksi yang terkait dengan air (bendungan, dll) maupun teknik penanganan bahan khusus (minyak, gas, dll).
Namun berbeda dengan pendekatan fluida umumnya yang berbasis mekanika klasik di era Newton, grup penelitian penulis sejak awal tahun 2005 telah berhasil mengembangkan metoda baru penanganan dinamika fluida dengan metoda yang telah dikenal di fisika partikel. Meski awalnya pengembangan ini dimotivasi oleh masalah terkait dengan kosmologi, pada perkembangannya salah satu anggota grup, A. Sulaiman, menemukan salah satu aplikasi sampingan di biofisika. Yaitu untuk menjelaskan perlambatan gerak DNA dalam suatu medium. Dengan memodelkan DNA sebagai materi yang berada dalam suatu medium yang dimodelkan sebagai fluida, diperoleh penjelasan teoritik penurunan besaran amplitudo dinamika DNA yang berperilaku sebagai gelombang soliton.
Hasil ini merupakan satu contoh kecil kemungkinan konvergensi antara fisika teori dan bioscience pada level kuantum (fisika) dan organisme elementer (ilmu hayati). Ini bahkan berpotensi kemungkinan integrasi antara keduanya. Selama ini, meski kedua kajian ilmu ini merupakan pilar utama sains modern, pada prakteknya keduanya tidak bersinggungan dan bahkan terkesan berjalan sesuai dengan kaidahnya sendiri-sendiri. Namun dengan kecenderungan mutakhir, niscaya era 'ketidaksahabatan' ini akan segera berakhir demi kemajuan peradaban umat manusia di era 'biokuantum'. Semoga !
Published in
Koran Tempo (17 November 2005, Tjandra)
"Sebanyak 16 peneliti muda bertemu dengan peraih Nobel. Ajang penularan ide, inovasi, dan gaya kreasi."
Merayakan Tahun Ilmu Pengetahuan Indonesia, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia menggelar Pertemuan Peneliti Indonesia Abad Ke-21 dengan tema "Menyongsong Indonesia yang Cerdas dan Cemerlang" pada 18-19 November 2005 di Jakarta. Ketua panitia, Masbah Rotuanta Tagore Siregar, menyatakan bahwa lembaga itu telah mengundang peraih Hadiah Nobel Bidang Fisika pada 1996, Douglas Dean Osheroff, untuk memberikan ceramah.
Wakil Ketua Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia Lukman Hakim menyatakan, usaha untuk mendatangkan peraih Nobel berkebangsaan Amerika itu tidak mudah karena adanya peledakan bom yang beberapa kali terjadi di Indonesia. Namun, setelah mempertimbangkan potensi mengembangkan ilmu pengetahuan di Indonesia, Osheroff akhirnya bersedia datang.
"Ini kehormatan bagi Indonesia," kata Lukman. "Diharapkan para periset nasional, terutama di bidang energi, akan sangat tertarik dengan penjelasannya: mencairkan gas alam dengan teknologi kriogenik."
Selain mengundang Osheroff, LIPI mengumpulkan 16 peneliti ilmu pengetahuan dan teknologi dalam negeri sebagai pembicara. Semuanya muda usia dan prestasi mereka diakui di tingkat internasional.
Beberapa di antara peneliti itu adalah peserta delegasi Indonesia dalam Nobel Laureate's Meeting ke-55 di Lindau, Jerman. Masbah berharap, para peneliti muda yang cemerlang ini dapat bertukar ide, pengalaman, dan pengetahuan serta mengembangkan dunia ilmu pengetahuan di Indonesia dan dunia.
"Susah juga memilih karena ilmuwan muda Indonesia jumlahnya banyak, tapi yang dapat award tak banyak. Itu yang kami pilih," kata Masbah.
Profil 16 ilmuwan muda Indonesia
Doktor fisika lulusan Universitas Hiroshima, Jepang, ini meraih Habibie Award 2004 untuk penelitiannya di bidang fisika partikel. Riset pria kelahiran Lawang, Malang Jawa Timur, 7 Mei 1968, ini difokuskan pada subbidang flavor physics menyangkut beragam jenis quark - partikel pembentuk materi paling elementer saat ini.
Sebulan sebelum memenangi Habibie Award, ia memenangi penghargaan sebagai juara terbaik dalam research and development APICTA Indonesia.
Published in
Koran Tempo (30 September 2005, Yandhrie Arvian)
Alat ini menjadi yang terbaik di bidang teknologi pada Perkemahan Ilmiah Remaja Nasional IV 2005.
Ide ini bermula dari kondisi pasar yang sedikit kumuh, yang letaknya tak jauh dari Kebun Raya Cibodas, Bogor. Sampah-sampah tampak berserakan oleh pengunjung yang membludak, apalagi jika musim libur tiba. Melihat hal itu, Albert Halim, 16 tahun terus berpikir keras bagaimana mengatasi sampah di tengah indahnya Kebun raya Cibodas.
Di tengah dingin yang mengurung, Albert semakin tergerak setelah tahu bahwa Kebun raya Ciboadas - seluas 135 hektar - juga banyak menghasilkan sampah organik. "Dalam satu hari sampah dedaunan kering bisa menggunung hingga satu truk", kata pelajar kelas II SMAK Petra 2 Surabaya itu. Kondisi inilah yang membuat Albert mencri ide untuk membuat alat yang tak hanya dapat mengatasi unggunan sampah itu, tapi sekaligus mengatasi dinginnya Cibodas, yang bisa mencapai 18 derajat Celcius.
Tiba-tiba sebuah ide melintas. Ia bersama tujuh rekan lainnya - dari sekolah yang berbeda - terinspirasi membuat sebuah pemanas air dengan memanfaatkan bantuan sinar matahari. Tapi ini bukan pemanas biasa. Selain hemat listrik, alat pemanas itu sengaja didesain agar dapat mempercepat proses pembuatan pupuk kompos, khususnya di daerah dingin. "Kedua fungsi itu dimungkinkan karena adanya perpindahan kalor yang berasal dari pemanas air dan yang dihasilkan oleh bakteri pengurai kompos", ucapnya.
Saat melakukan penelitian, Albert bersama timnya memanfaatkan seng sebagai konduktor. Seng ini digunakan untuk membuat tabung pemanas air setinggi 60 cm. Pemanas air itu, menurut Albert, diletakkan diantara sampah organik yang berada di dalam sebuah kotak. Kotak tersebut digunakan sebagai tempat pembuatan kompos. Adapun kotak berukuran 54 x 54 x 25 cm. "Kerangka gabus dibungkus dengan plastik hitam penuh", kata Albert. Warna hitam sengaja dipilih agar panas dari sinar matahari terserap.
Adapun sampah organik yang dicampur dengan tanah humus sebagai bahan dasar pembuatan kompos. "Perbandingan kompos dengan humus empat banding satu", katanya. Penambahan humus itu, ujar Albert, agar mikroba pengurai yang berada di dalam sampah memiliki makanan yang cukup dan optimal. Hal ini dapat mempercepat proses pembuatan kompos.
Setelah melakukan penelitian selama tiga hari, pembuatan kompos terbukti dapat dapat dimanfaatkan sebagai sumber kalor dalam pemanas air. "Prinsip kerja alat ini juga terbukti paling dapat dimanfaatkan sebagai sumber kalor dalam pemanas air. "Prinsip kerja alat ini juga terbukti saling memberikan kalor, yang akhirnya dapat mempercepat proses pengomposan sekaligus pemanasan air", katanya.
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa proses pembuatan pupuk kompos mencapai suhu optimal pada 30-40 derajat Celcius. Panas ini, menurut Albert, cocok bagi mikroba saat bekerja. Sebab, suhu yang terlalu panas akan membuat mikroba mati. Tapi, jika suhu terlalu dingin, mikroba justru tak bisa bekerja optimal.
Ternyata alat ini yang bekerja berdasarkan perpindahan kalor bolak-balik itu mengantarkan Albert bersama timnya menjadi yang terbaik di bidang teknologi pada Perkemahan Ilmiah Remaja Nasional IV. Perkemahan ini berlangsung pada 18-24 September 2005 di Kebun Raya Cibodas. Ini adalah ajang tahunan yang diselenggarakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Perkemahan kali ini diikuti oleh 115 peserta dari SMP dan SMA yang berasal dari 22 propinsi.
Albert tak menduga jika ia bersama kelompoknya bakal menjadi yang terbaik. "Saya sempat kaget juga", kata juara pertama Science is Fun yang diadakan Kedutaan Besar Australia Februari lalu. Secara individu, Albert juga berhasil meraih predikat terbaik II dari semua peserta. Prestasi itu membuatnya berhak mewakili kelompoknya untuk memasukkan makalah penelitian tersebut pada Lomba Karya Ilmiah remaja (LKIR) 2005 pada October.
Albert sudah membuat skema rancangan untuk mengaplikasikan prototipe pemanas dengan pompa air, pipa dan keran air. Kini dia tengah mencari tempat di Jawa Timur yang kira-kira memiliki ketinggian dan suhu yang sama seperti di Cibodas untuk menguji coba alat tersebut. Semua itu bagian dari persiapnnya menghadapi LKIR 2005.
Pemanas dua fungsi sangat feasible
Bagi Laksana Tri Handoko dari Pusat Penelitian Fisika LIPI Serpong, Tangerang, ide pembuatan alat yang dikembangkan Albert Halim bersama kelompoknya sangatlah menarik. "Ide itu cukup orisinal", kata Handoko, instruktur sekaligus juri di Perkemahan Ilmiah Remaja Nasional IV. Pasalnya, kata dia, alat tersebut tak hanya dapat digunakan untuk mempercepat pembuatan kompos, tapi juga memiliki fungsi lain sebagai pemanas air. Uniknya, Handoko menambahkan, ide itu sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari, tapi tak semua orang dapat memikirkannya.
Keunggulan itu juga diperlihatkan pada saat proses pelaksanaan. Padahal, selama perkemahan ilmiah berlangsung, peralatan yang dipakai setiap peserta sengaja dibatasi. "Ini menuntut peserta lebih kreatif dalam melakukan terobosan dari apa yang ada di sekitar", katanya.
Meski begitu, ia mengakui bahwa keunggulan alat ini belum bisa dinilai atau dibandingkan dengan pembuatan kompos lainnya. Hal ini karena keterbatasan waktu penelitian, yang hanya berlangsung tiga hari. Namun Handoko menilai, ide pembuatan pemanas dua fungsi ini sangat feasible dan mudah diaplikasikan. "Fungsi pembuatan kompos dan pemanas air itu saling melengkapi, bisa mempercepat proses, dan menjaga suhu agar tetap hangat", katanya.
Cara kerja alat
Pemanas ini tak berdiri sendiri. Albert Halim pun sudah membuat skema untuk mengaplikasikan prototipe pemanas dengan pompa air, pipa dan keran air. Sayangnya, karena keterbatasan waktu penelitian, Albert belum sempat menguji skema rancangannya saat perkemahan ilmiah berlangsung di Cibodas pekan lalu. Tapi rancangan ini terus dia teliti sebagai persiapan untuk mengikuti Lomba Karya Ilmiah Remaja pada October mendatang.
Cara kerja pemanas
Published in
Metro TV (25 September 2005, 15:00-15:30 WIT)
Host : Berlina
Published in
Indopos (7-8 September 2005, xxxxxx)
xxxxx
Published in
News Letter no. 50 (1 September 2005)
Published in
Bisnis Indonesia (22 Agustus 2005)
Dalam menyambut hari ulang tahun ke 38 LIPI hari ini menyelenggarakan Sarwono Prawirohardjo Memorial Lecture V oleh Taufik Abdullah berjudul Ketika Awal Dirayakan dan Keharusan Dipatrikan dan pemberian penghargaan.
Penghargan Sarwowo Prawirohardjo ini diberikan kepada lima ilmuwan karena jasa dan pengabdianya serta mempunyai reputasi baik nasional maupun internasional dalam ilmu pengetahuan.
Tiga orang peneliti penerima penghargaan International Basic Science Program UNESCO pada April di Bangkok. Mereka adalah Hery Haerudin (Pusat Penelitian Kimia LIPI), Julisasi Tri Hadiah (Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Bogor LIPI), Sri Sulandari (Pusat Penelitian Biologi LIPI).
Ketiga peneliti dari Indonesia itu berhasil menyisihkan 252 usulan penelitian dari seluruh dunia. Ketiganya termasuk dalam lima usulan penelitian yang direkomendasikan dari Asia.
Sedangkan dua peneliti LIPI lainnya yang akan mendapat penghargaan tersebut adalah Anto Tri Sugiarto dari Puslit Kimia dan L.T Handoko dari Puslit Fisika.
Selain itu, tahun ini LIPI juga ikut berpartisipasi dalam kegiatan pertemuan Nobel Lauratus Lindau pada Juni-juli. Tiga peneliti LIPI hadir pada acara the Nobel Prize Meeting in Lindau Jermany.
Mereka adalah Arief Budi Witarto dari Puslit Bioteknologi bidang Obat-obatan; Anto Tri Sugiarto (Puslit bidang kimia) dan Nurul Taufikurochman (Puslit Bidang Fisika). Arief dan Nurul juga mendapat penghargaan dari PII.
Published in
Media Indonesia
(20 Agustus 2005)
LIMA dari tujuh peneliti di Asia Pasifik, yang mendapat penghargaan International Basic Sciences Programme (IBSP) UNESCO, berasal dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). Namun, LIPI menyatakan Indonesia belum kondusif bagi para peneliti untuk mengembangkan ilmunya.
"Lima peneliti yang mendapat penghargaan internasional itu dari LIPI itu karena usulan penelitiannya menjadi proyek Scientific Board dari IBSP UNESCO," Prof Dr Umar Anggoro Jenie, Kepala LIPI pada jumpa pers menjelang perayaan hari ulang tahun ke-38 LIPI di Jakarta, kemarin.
Kelima peneliti itu terdiri Dr Hery Haerudin dari Pusat Penelitian Kimia LIPI, yang menjadikan penelitian berjudul Study of Surfactact as Templating Agent for the Synthesis on Nano Structured Pillared Montmorillonite. Dr Julisasi Tri hadiah dari Pusat Konservasi Tumbuhan Kebun Raya dengan judul penelitian Diversity and Phylogeny of Elatostema (Urticaceae) in Thailand and Peninsula Malaysia.
Dr Sri Sulandari dari Pusat Penelitian Biologi LIPI dengan judul penelitian Improvement of Capacity Building on Genetic Resources Management Through Development of DNA Data Bank in Indonesia. Sementara itu, dua penelitian dari LIPI yang mendapatkan penghargaan yang sama adalah Dr Anto Sigiarto dari Pusat Penelitian KIM dan Dr LT Handoko dari Pusat Penelitian Fisika.(Drd/H-3).
Published in
Kompas (4 July 2005, L.T. Handoko)
Suatu kesempatan yang sangat berharga bagi saya, yang hanya seorang peneliti fisika biasa, bisa menonton konser musik akbar Megalitikum Kuantum 29 Juni lalu.
Pertunjukan kolosal yang tertata apik, profesional, dan sangat inspiratif tidak hanya bagi pencinta seni tetapi juga bagi penulis yang sehari-hari hanya mengenal "bahasa cacing" (matematika) dan sama sekali awam dengan bahasa seni.
Bagaimana memaknai nama Megalitikum Kuantum? Ini pertanyaan pertama saya sejak memutuskan hadir dalam konser perayaan 40 tahun Harian Kompas itu. Ternyata, menurut penjelasan salah satu tim pengarah konser, nama ini merefleksikan perjalanan seni musik Nusantara dari zaman batu (megalitikum) ke zaman mendatang sebagai era kuantum.
Entah disadari entah tidak, ini sungguh suatu penamaan yang tepat mengingat tahun ini adalah warsa Relativitas Einstein, bapak fisika dunia, dan kuantum adalah pilar utama fisika modern dewasa ini.
Einstein sebenarnya adalah penentang utama teori kuantum sampai akhir hayatnya. Padahal, Einstein justru mendapatkan Nobel Fisika atas prediksi teoretiknya untuk efek fotolistrik (bukan teori relativitas) yang menjadi inspirator utama bagi Heisenberg untuk mengembangkan mekanika kuantum pada tahun 1920-an.
Berbeda dengan mekanika Newton (klasik) di mana setiap gerak materi dinyatakan dalam fungsi posisi dan waktu, pada mekanika kuantum gerak materi dinyatakan dalam probabilitas keadaannya. Ini konsekuensi alami karena mekanika kuantum ditujukan untuk menggambarkan dinamika partikel yang berukuran kecil seperti elektron.
Karena ukuran tak kasat mata, tidak dimungkinkan mengukur posisi maupun waktu. Untuk itulah diperkenalkan postulat prinsip ketidakpastian yang menunjukkan ketidakmampuan pengukuran atas posisi dan waktu secara akurat bagi partikel.
Perkembangan teori kuantum terus berlanjut sampai era Schrodinger yang berhasil membangun persamaan gerak untuk dinamika kuantum, serta Klein Gordon dan Dirac yang kemudian memformulasi persamaan gerak kuantum relativistik. Persamaan ini merupakan cikal-bakal teori medan serta membidani lahirnya teori unifikasi interaksi alam (interaksi elektromagnetik, lemah dan kuat) yang dikenal sebagai model standar partikel elementer dewasa.
Bagaimana teori ini terkait dengan era mendatang, padahal teori sudah dibangun lebih dari tiga perempat abad silam?
Inilah perbedaan mendasar ilmu dasar dengan sains aplikatif yang segera bisa dilihat aplikasinya namun lifetime-nya pendek seperti teknologi informasi. Itu pula yang sering menggiring publik mengacuhkan ilmu dasar. Padahal, seperti elektron yang menjadi dasar seluruh peradaban manusia yang berbasis teknologi (elektronika), ilmu itu dikembangkan Maxwell pada abad ke-19.
Tanpa mengetahui partikel elementer bermuatan-yang kemudian dinamakan elektron-sebagai pembawa muatan listrik bila ada beda potensial, tidak akan pernah ada elektronika serta logika dua bit dan seluruh turunan produknya. Dengan mengetahui sifat tersebut, manusia bisa mengembangkan aneka peranti untuk pertukaran informasi dengan basis dua bit ketika informasi dikonversi dalam kombinasi angka 0 dan 1.
Mikro ke nano
Dengan adanya tuntutan untuk memperkecil peranti, tidak hanya sebatas ukuran mikro (mikro-elektronik), saat ini dikembangkan peranti nano. Sayangnya, dengan sifat kuantum elektron tidak dimungkinkan membuat peranti nano karena akan terjadi interferensi antar gelombang elektron yang ada. Inilah yang memotivasi para peneliti melirik partikel elementer lain yang disebut foton.
Meski sudah dikenal sejak era Planck dan Einstein di awal abad ke-20, penjelasan konsisten mengenai keberadaan foton ini merupakan pencapaian awal yang membuktikan kebenaran teori medan pada era 1960-an.
Sifat gelombang yang mengakibatkan interferensi pada elektron terjadi karena elektron adalah partikel bermassa. Sebaliknya, foton tidak bermassa sehingga sifat gelombangnya bisa diabaikan dan tidak memungkinkan terjadinya interferensi dalam suatu peranti.
Namun, masalah berikutnya adalah foton tidak bermuatan sehingga tidak bisa dilakukan proses perpindahan dengan memberikan beda muatan seperti pada elektron. Karena itulah pada barang elektronika selalu ada dua kutub, positif dan negatif, untuk memberikan beda muatan.
Sebaliknya pada peranti fotonik, seperti peranti komunikasi dengan serat optik, tidak dikenal dua kutub dengan beda muatan. Sebagai gantinya, dipakai sumber foton buatan dengan energi tinggi, yaitu laser.
Meski peranti semacam ini sudah memakai foton, algoritma transfer informasi masih berbasis dua bit. Itu sebabnya pada serat optik diperlukan minimal satu pasang serat yang dipakai untuk mengirim dan menerima pulsa foton pada kedua sisinya.
Tentu saja untuk peranti nano tidak dimungkinkan memakai laser konvensional seperti yang dikenal karena ukurannya terlalu besar. Lebih jauh, diperlukan pengembangan algoritma baru untuk peranti nano, tidak bisa sekadar sistem dua bit yang linier, namun sudah memasuki wilayah nonlinier karena adanya fenomena soliton.
Dengan keberhasilan teknologi berbasis foton ini diharapkan loncatan teknologi tidak hanya untuk nanoteknologi, tapi juga teknologi komunikasi konvensional berbasis foton yang jauh lebih efisien.
Sebenarnya teknologi berbasis efek kuantum semacam inilah yang menjadi cikal-bakal nanoteknologi. Jadi bukan sekadar efek mekanis dari miniaturisasi ukuran materi sampai level nano. Karena istilah nano sudah jadi jargon populer, ada kecenderungan perluasan pemakaian istilah yang sama untuk aneka hal. Sama seperti aneka kontes yang marak di televisi akhir-akhir ini.
Dengan segala kelebihan itu, teknologi fotonik merupakan kunci teknologi masa depan. Mulai dari aspek aplikatif seperti material fotonik dan peranti fotonik, sampai aspek teoretik seperti non-linier optik dan informasi kuantum untuk mencari algoritma baru yang lebih sesuai dengan sifat foton. Dengan sendirinya pemahaman dasar mekanika kuantum menjadi mutlak.
Karena itu tidaklah mengherankan bila di luar negeri kuliah mekanika kuantum diwajibkan bagi mahasiswa teknik (khususnya elektro dan material) meski hanya satu semester. Ini sangat kontras dibandingkan dengan Indonesia, yang bahkan ada kecenderungan mengurangi mata kuliah wajib mekanika kuantum untuk mahasiswa fisika!
Padahal, mata kuliah mekanika kuantum (dan fisika matematika) inilah yang membedakan lulusan fisika dan teknik kelak. Sebaliknya, di Indonesia pun sudah semestinya mulai diperkenalkan mata kuliah wajib mekanika kuantum untuk mahasiswa teknik meski hanya satu semester demi menyongsong era kuantum yang semakin dekat.
Tentu saja hal di atas tidak berarti kelak jurusan elektro akan dilikuidasi dan berganti menjadi "jurusan foto". Karena bagaimanapun, barang elektronik akan tetap diperlukan dan sebaliknya tidak semua akan berganti menjadi fotonik. Sama halnya dengan teori mekanika klasik Newton yang terus dipakai untuk konstruksi sipil meski sudah ada mekanika kuantum.
Justru kombinasi keduanyalah yang akan memberikan warna baru pada peradaban manusia mendatang. Hal ini persis dianalogikan pada pertunjukan Megalitikum Kuantum yang meramu dengan apik musik era Megalitikum yang diwakili antara lain oleh musik Nias yang impresif, dengan era Kuantum yang direpresentasikan oleh Agnes Monica dengan performanya yang dinamis dan energik dan tidak mungkin bisa ditiru oleh para fisikawan, kecuali bila ingin patah tulang.
Tampak sekali para seniman kita sudah lama lepas landas dari era megalitikum dan telah jauh memasuki era kuantum, bahkan sudah mampu meramunya dengan sangat cerdas. Demikian pula dengan Kompas yang sudah berani memproklamasikan diri telah memasuki era kuantum di usianya yang ke-40.
Nah, bagaimana dengan para ilmuwan dan teknokrat kita? Akankah kita segera memasuki era kuantum ataukah masih terlena dan memilih bernostalgia dengan kekayaan alam Indonesia yang berlimpah di era megalitikum?
Published in
Kompas (1 June 2005, Salomo Simanungkalit)
UNTUK merayakan hari lahirnya yang ke-45 atau Lustrum IX pada hari ini, 1 Juni 2005, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya, Jakarta, menganugerahkan tiga jenis penghargaan dan mendeklarasikan kelahiran Penerbit Unika Atma Jaya. Ketiga jenis penghargaan itu adalah Fisikawan Terbaik, Penerjemah Terbaik Bidang Novel, serta Tokoh Pembela Kemanusiaan dan Keadilan.
DUA hal dari kegiatan penting ini menyangkut satu nama: almarhum Hans Jacobus Wospakrik. Yang pertama adalah anugerah Fisikawan Terbaik. Yang kedua, peluncuran buku ilmiah populer, Dari Atomos Hingga Quark, yang menandai kelahiran Penerbit Unika Atma Jaya. Opus posthumous Hans ini diterbitkan bersama dengan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG).
Dewan Penimbang, yang antara lain, terdiri dari Dr Jorga Ibrahim (Departemen Astronomi ITB), Dr Terry Mart (Jurusan Fisika, Fakultas MIPA UI), dan Dr LT Handoko (LIPI) dalam keputusannya menyebut Hans yang semasa hidupnya mengajar di Departemen Fisika ITB dianugerahi sebagai Fisikawan Terbaik "atas pengabdian, konsistensi, dan dedikasinya yang tinggi dalam penelitian di bidang fisika teori yang memberi sumbangan berarti kepada komunitas fisika dunia berupa metode-metode matematika untuk memahami fenomena fisika dalam partikel elementer dan Relativitas Umum Einstein melalui publikasinya di jurnal-jurnal internasional terkemuka, seperti Physical Review D, Journal of Mathematical Physics, Modern Physics Letters A, dan International Journal of Modern Physics A".
Tentu saja komunitas fisika mengerti bahwa Physical Review D dan Journal of Mathematical Physics adalah media terkemuka tempat sebagian riset fisikawan pemenang Nobel dipublikasikan. Yang menarik, yang justru mengapresiasi karya-karya penelitian berskala internasional dari seorang Hans (1951-2005) adalah sebuah perguruan tinggi di mana Hans tidak pernah terlibat dalam kegiatan penelitian maupun mengajar, bukan pemerintah atau Departemen Pendidikan Nasional yang struktural langsung membawahkan ITB tempat Hans sebagai pengajar dan peneliti.
Dengan tujuh hasil penelitian yang menembus jurnal internasional terkemuka, tiga hasil penelitian diterbitkan jurnal online yang bersifat internasional, tak terhitung penelitiannya yang diterbitkan jurnal dan prosiding dalam negeri, serta menghabiskan waktu sebagai pegawai negeri mengajar dan membimbing mahasiswa di ITB, Dr Hans J Wospakrik yang meninggal pada 11 Januari 2005 dihargai pemerintah hanya sampai golongan IV-A, lektor kepala!
Barangkali ada yang salah dengan sistem merit versi pemerintah. Dr Jorga Ibrahim ketika memberikan alasan betapa Hans layak mendapat anugerah ini, mengutip fisikawan teori Prof Dr Ryu Sasaki dari Institut Fisika Teori Yukawa di Kyoto, Jepang, bahwa bila menggunakan syarat-syarat di Jepang, Hans adalah satu dari sedikit ilmuwan di Indonesia yang berhak mendapat gelar profesor.
Komentar Sasaki ini, menurut Jorga, disampaikan ketika berkunjung di ITB 17 tahun lalu. Setelah mengetahui publikasi Hans yang menembus Physical Review D-padahal waktu itu Hans masih dengan gelar sarjana, belum PhD-Sasaki geleng-geleng kepala mengetahui Hans hanya dihargai pemerintah dengan golongan pangkat yang tidak memadai.
Pihak Atma Jaya sendiri, menurut salah seorang pengurus yayasannya, tertarik memberi penghargaan setelah membaca berita meninggal Hans di koran. Di sana disebutkan reputasi fisikawan yang putra Papua ini berkali-kali berhasil menembus jurnal fisika internasional terkemuka. Untuk memperkuat laporan surat kabar itu, pihak Atma Jaya mengundang beberapa fisikawan sebagai Dewan Penimbang.
Dengan penghargaan Fisikawan Terbaik ini, Atma Jaya memotivasi dosen-dosennya supaya giat dalam penelitian hingga hasil riset mereka dapat diterbitkan jurnal bidang masing- masing yang reputasinya mendunia, internasional. Momentumnya, ya, lustrum kesembilan inilah.
FISIKAWAN Terbaik. Saya pikir predikat ini tidak melulu untuk prestasi Hans sebagai akademikus, tapi juga sebagai seorang manusia dalam interaksinya dengan sesama. Inilah yang ingin saya bagi kali ini. Tentang keilmuwanan seorang Hans, saya tidak akan mengulangi apa yang terungkap secara panjang lebar dalam Pengantar Editor bukunya, Dari Atomos Hingga Quark, yang diluncurkan hari ini juga.
Santun, ramah, dan penolong. Saya pikir inilah kesan yang dibawa setiap orang yang pernah berjumpa dengan Hans. Sikap ini tidak hanya diperlihatkannya horisontal secara alami kepada rekan-rekannya sesama pengajar, tetapi juga vertikal secara alami kepada mahasiswa-mahasiswanya. Sebagian besar kawan-kawannya dan mahasiswanya yang saya jumpai mengatakan belum pernah melihat Hans marah. Paling-paling dia diam kalau ada yang tidak berkenan di hatinya. Diam itu pun biasanya segera cair.
Dalam pengenalan saya sejak dua puluh tahun yang lalu, citra santun, ramah, dan penolong itulah yang terekam dan selalu terkenang. Itu barangkali sebabnya, ketika menulis profilnya di harian ini dua tahun lalu, kesan itu terbawa-bawa.
Sebagai wartawan, tentu ada perasaan bersalah kalau kami hanya memperlihatkan kebaikan-kebaikan seseorang dalam suatu penulisan profil. Seolah-olah setiap orang adalah malaikat. Ada nasihat baik tentang penulisan profil yang pernah saya dengar dari seorang wartawan senior.
Katanya, "Kalau seseorang itu Anda anggap layak jadi panutan, tulislah 80 persen mengenai kebaikan-kebaikannya, tapi sisakan 20 persen untuk memperlihatkan bahwa orang itu manusia juga, ada sisi-sisi buruknya."
Maka, ketika Karlina Supelli mengirimkan SMS bahwa ia sangat terkesan dengan profil Hans yang terbit 5 September 2003 di harian ini, saya langsung menjawab, "Apakah saya tidak berlebihan?" Karlina menjawab, "Tidak, itu juga Hans yang saya kenal."
Karlina adalah adik kelas Hans di ITB. Karlina di Departemen Astronomi, Hans di Departemen Fisika. Keduanya mendalami kosmologi. Keduanya menulis skripsi dengan pembimbing yang sama: Dr Jorga Ibrahim. Keduanya lulus cum laude. Hans pada tahun 1976, Karlina pada tahun 1981.
Beberapa hari setelah jenazah Hans dimakamkan di Jayapura, saya berkunjung ke rumah keluarganya di Bandung. Istrinya, Regina Wospakrik-Sorentau, bercerita bahwa profil itu pun sempat menggelisahkan Hans. Ia membaca berulang-ulang.
Kata Hans seperti dikutip istrinya, "Ma, apakah tulisan ini tidak akan mengganggu teman-teman? Saya dilukiskan seperti bintang." Istrinya menjawab, "Tidak. Saya kira Pak Salomo menulis apa adanya. Papa sendiri bagaimana melihatnya, apa ada yang salah ditulis di sana?" Respons Hans, "Tidak ada yang salah, tapi bisa disalahartikan."
Dalam kunjungan di Bandung itu saya mendapat banyak cerita tentang Hans dan keluarga, Hans dan mahasiswa, yang dituturkan orang yang paling dekatnya dalam 24 tahun terakhir. Ketika studi di Universitas Durham, Inggris, untuk mendapatkan PhD (1999-2002), Hans membawa istri dan kedua anaknya. Beasiswa pas-pasan. Istri dan anak-anak harus bekerja.
Sebagai seorang bidan, Regina mendaftar bekerja di rumah sakit. Willem dan Marianette, kedua anaknya yang waktu itu masih SMP dan SMA, kalau ada waktu luang mencari kerja sambilan. Lumayan juga penghasilan mereka. Bisa menabung. Uang tabungan itulah yang mereka gunakan merayakan kelulusan Hans sebagai PhD keliling Eropa daratan.
Sekali peristiwa, Fitri Armalivia, mahasiswa bimbingannya, mendaftar untuk mengikuti kuliah triwulan pendek di Universitas Durham. Perguruan tinggi itu memang punya program beasiswa mengundang mahasiswa dari berbagai negeri selama beberapa minggu untuk berkunjung dan belajar. Armalivia butuh rekomendasi. Orang yang tepat memberikan itu tentulah Hans.
Pendaftaran sudah dilakukan, tapi panggilan belum datang juga. Armalivia menduga Hans belum menulis rekomendasi. Waktu itu Hans disibukkan dengan memeriksa ujian. Suatu hari guru dan murid ini berpapasan. Armalivia seperti menghindar. Hans semula tidak mengerti, tapi akhirnya mafhum bahwa biang keladinya pastilah rekomendasi itu. Di rumah ia bercerita kepada istrinya, "Armalivia mungkin kecewa, tapi saya akan 'kerjain' dia seolah-olah saya tidak menulis rekomendasi."
Keesokan harinya ia langsung menulis surat-e ke Durham. Namun, setelah itu Armalivia selalu duduk di belakang saban mengikuti kuliah-kuliahnya Hans. Untunglah, dalam tempo yang singkat sesudah Hans melayangkan rekomendasinya, Durham memberi tahu bahwa Armalivia diterima mengikuti program triwulan pendek itu.
"Keusilan Pak Hans itu paling-paling segitu," kisah Regina. Hubungan murid dan guru itu pulih kembali.
Dengan seorang dosen senior, Hans pernah konflik. Yang senior mendiamkannya setahun, entah karena apa. Tidak saling tegur sapa. Ketika ada tanda-tanda hubungan membaik, justru Hans yang balik mendiamkannya. "Setahun saya didiamkan, sekarang saya tambah setahun, saya yang mendiamkannya," kata Hans seperti dikisahkan Dr Freddy P Zen, rekannya di Kelompok Keahlian Fisika Teori.
SEBAGAI pegawai negeri, Hans memperlihatkan hubungan berbanding langsung antara gaji dan kehidupan. Pada sebagian besar pegawai negeri, hubungan gaji dan kehidupan adalah berbanding terbalik sebab dengan gaji kecil (gaji pokok pegawai dengan golongan tertinggi IV-E tidak lebih dari Rp 4 juta), banyak pegawai negeri punya rumah lebih dari satu, mobil lebih dari satu, deposito dalam orde miliar rupiah. Hans selama hidupnya sebagai pegawai negeri tidak sempat memiliki rumah, tidak pernah memiliki mobil, bahkan sepeda motor. Setiap tahun ia harus memperbarui kontrak rumahnya, ke kampus naik angkot. Tak jarang ia pulang malam dari kampus jalan kaki setelah menempuh tujuh kilometer sebab angkot menuju rumahnya sudah tidak beroperasi lagi. Dalam hal ini, satu lagi predikat harus disematkan ke pundaknya: Pegawai Negeri Terbaik.
Kebaikan-kebaikannya inilah yang menumbuhkan pilu ketika menyaksikan bagaimana rumah sakit memperlakukan seorang fisikawan Indonesia yang luar biasa ini di akhir hidupnya.
Menurut penuturan istri dan keluarganya, karena kekurangan uang panjar, dua hari pertama Hans yang menderita leukemia itu tidak mendapatkan obat dari rumah sakit tempat ia terakhir dirawat. Begitu ada uang tambahan, barulah rumah sakit mulai memberikan obat. Beberapa jam setelah itu Hans mengembuskan napasnya yang terakhir.
Di kamar jenazah, tubuh Hans harus menunggu suntik formalin karena keluarga harus pontang-panting mengumpulkan uang sebanyak Rp 1 juta. Kartu kredit tidak berlaku di ruang jenazah itu. Dokter menunggu uang terkumpul. Untung ada Karlina Supelli yang bertanya ke dokter, "Saya punya beberapa dollar dan rupiah yang kalau dikumpulkan sekitar Rp 1 juta. Apakah ini dapat diterima?"
Sang dokter langsung memungut uang itu dan formalin seketika disuntikkan.
Published in
Kompas (19 May 2005, Salomo Simanungkalit)
SENIN, 2 Mei lalu, lebih dari 100 dosen, peneliti, dan mahasiswa yang menggumuli fisika teori dan kosmologi dari seluruh Indonesia mengikuti Lokakarya Fisika Teori 2005 di Kampus ITB. Topik-topik yang disajikan dalam lokakarya itu tergolong berada di garda terdepan fisika dan astronomi masa kini. Timbul pemikiran, setelah pemerintah memberi perhatian pada biologi molekuler dalam zaman Habibie sebagai Menristek, katakanlah dengan mendirikan Lembaga Biologi Molekuler Eijkman di Jakarta, mengapa pemerintah SBY tidak mencoba mendukung bidang ini sebagai unggulan iptek Indonesia saat ini?
DANA yang diperlukan tidak tergolong banyak. Untuk fisika teori dan kosmologi fundamental, misalnya, "modal" selanjutnya yang diperlukan adalah langganan jurnal, buku-buku terbaru, fasilitas internet, dan-tentu ini sangat perlu-gaji yang memadai. Sumber daya manusianya Indonesia sudah punya, menyebar di beberapa lembaga pendidikan dan penelitian. Untuk fisika teori fenomenologis, selain yang disebut tadi adalah dukungan pemerintah kepada para peneliti untuk bisa menumpang eksperimen di laboratorium-laboratorium negara maju. Bidang ini asalkan didukung secara finansial yang ordenya tergolong amat kecil dibandingkan dengan apa pun (apalagi korupsi para petinggi negara) sangat membuka peluang ilmuwan Indonesia mendapat Nobel dalam fisika. Paling tidak, memberi sumbangan berarti melalui jurnal-jurnal internasional terkemuka.
Dari lokakarya ini terlihat, ternyata cukup banyak manusia Indonesia (113 orang dari berbagai angkatan) yang mau bekerja di "tempat yang sepi", menggeledah rahasia Alam dengan mengoptimalkan nalarnya menggunakan rute-rute yang telah dirintis pendahulu mereka di berbagai belahan dunia. Ketekunan mereka di sektor ini membuka peluang juga merintis rute-rute baru dalam "proyek" penggeledahan rahasia Semesta ini.
Negara-negara yang sekarang didefinisikan sebagai negara maju-seperti Amerika Serikat, negara-negara Eropa Barat, Kanada, dan Jepang- boleh dibilang bisa mencapai tingkat tersebut setelah mereka membangun fisika teori lebih dulu. Bahkan, negara yang belum sampai pada tahap maju, seperti Rusia atau Uni Soviet dulu, memberi perhatian yang luar biasa dalam bidang ini sampai ada di antara fisikawannya yang mendapat Nobel. Israel sebagai negara kecil jangan ditanya berapa fisikawan teori mereka yang menyebar di seluruh dunia. Raksasa China dan India dalam konteks jumlah penduduk, demikian pula Pakistan yang kurang lebih searas dengan Indonesia dalam perekonomian, lebih awal memberi perhatian dalam bidang ini.
Binatang apakah fisika teori itu? Untuk menjawab pertanyaan ini, dua nama tokoh dari golongan ilmuwan yang sudah kadung digolongkan sebagai selebritis mungkin akan membantu. Kedua ilmuwan selebritis itu adalah Albert Einstein dan Stephen Hawking. Tak ada yang tak mengenal kedua nama ini. Mereka sama-sama besar karena pemikiran dan pekerjaan mereka yang luar biasa dalam bidang yang sekarang disebut sebagai fisika teori dan kosmologi. Einstein, misalnya, melahirkan banyak gagasan, tapi mungkin yang paling banyak peranannya membuat dunia yang kita tinggali ini bisa berkomunikasi dengan internet melalui komputer adalah efek fotolistrik yang mendasari pendirian mekanika kuantum.
Lapangan kerja bagi fisikawan teori maupun kosmologiwan adalah seluruh Alam Semesta, dari jagat amat renik sampai jagat amat raksasa. Nama lain untuk kedua kosmos ini adalah mikrokosmos dan makrokosmos atau fisika partikel elementer dan kosmologi. Jalur mereka untuk menggeledah rahasia mikrokosmos dan makrokosmos secara kasar dapat dibagi dua: fisika teori fundamental dan fisika teori fenomenologis. Keduanya sama-sama bermodalkan instrumen analitis yang disebut matematika. Tidak sembarang matematika, tapi matematika murni. Tidak jarang seorang fisikawan teori fundamental malah ikut mengembangkan matematika murni.
Kalangan fisikawan teori fundamental lebih mengikuti jalur Maxwell dalam riset-riset mereka. Ada keyakinan kuat pada komunitas ini bahwa bila gagasan mereka membongkar rahasia Alam dapat dipertanggungjawabkan secara matematika, ada peluang besar bahwa kelak eksperimen akan membuktikannya. Kalangan fisikawan teori fenomenologi berpikir bukti eksperimental adalah hakim terakhir untuk suatu gagasan. Kedua kalangan sama- sama punya kebanggaan pada "hakimnya" masing-masing. Tak jarang mereka saling mencemooh, tapi tetap dalam batas- batas perkawanan. Pokoknya, belum tercatat mereka saling tonjok seperti yang terjadi di rapat paripurna DPR atau parlemen Taiwan, misalnya.
Di luar fisika teori, banyak sekali cabang fisika. Fisika zat padat, fisika material, fisika bumi, fisika komputasi, fisika biologi, fisika kedokteran, sampai fisika keuangan, dan lain-lain. Sejak jurusan fisika di tingkat perguruan tinggi dimulai di Indonesia pada pertengahan tahun 1940-an, baru mulai awal tahun 1960-an ada orang Indonesia yang menggumuli fisika teori sampai di tingkat doktor. Nama-nama seperti Achmad Baiquni, kini almarhum, dan Mohammad Barmawi adalah angkatan pertama. Keduanya doktor lulusan Amerika Serikat. Setelah itu muncul nama Pantur Silaban dan Tjia May On yang mengajar di ITB, Darmadi di UI, dan H Muslim di Universitas Gadjah Mada.
Di angkatan selanjutnya ada Armahedi Mahzar, Hans Jacobus Wospakrik, kini almarhum, dan Erwin Sucipto yang dalam lima tahun belakangan mengajar di beberapa universitas di Amerika Serikat. Angkatan berikutnya LT Handoko (LIPI), Terry Mart (UI), Freddy P Zen, Triyanta, Alexander Iskandar, Bobby E Gunara, dan Jusak Kosasih di ITB, Husin Alatas di IPB, dan Agus Purwanto di ITS. Selain mereka, masih puluhan mahasiswa dari tingkat S3 sampai S1 yang memilih bidang ini menyebar di belasan perguruan tinggi di Indonesia.
Sampai angkatan Hans Wospakrik, fisikawan teori Indonesia lebih banyak bekerja sendiri. Ini dapat dipahami sebab anggota komunitas ini amat sedikit. Baru pada angkatan Handoko, Terry Mart, dan Freddy Zen kegiatan merangkul sesama fisikawan teori ke dalam sebuah komunitas mulai digarap. Salah satu bentuk usaha merangkul itu adalah kegiatan bernama Lokakarya Fisika Teori (LFT) yang dimulai kali pertama pada tahun 2004. Diselenggarakan di UI pada 19 Mei 2004, LFT merupakan embrio dan satu-satunya pertemuan ilmiah tahunan khusus untuk fisika teori di Indonesia maupun ASEAN. Pertemuan ini dikelola oleh konsorsium fisikawan teori Indonesia yang tergabung dalam Grup Fisikawan Teoretik Indonesia (GFTI) dan merupakan perwakilan seluruh institusi yang memiliki kegiatan ilmiah di bidang terkait.
Berbeda dengan pertemuan ilmiah pada umumnya, menurut LT Handoko, LFT tidak dikelola dan dimiliki oleh lembaga tertentu, melainkan oleh konsorsium yang saat ini mewakili ITB, UI, LIPI, Batan, Universitas Padjadjaran, Universitas Diponegoro, Universitas Udayana, Universitas Syiah Kuala, IPB, Universitas Gadjah Mada, dan ITS. Karena itu, tempat penyelenggaraannya akan bergilir di kalangan anggota konsorsium dengan panitia lokal personel di institusi penyelenggara.
LFT kedua berlangsung 2 Mei lalu di ITB. Diikuti 113 peserta, LFT dengan tema Frontiers in Theoretical Physics, Astrophysics and Cosmology ini terbagi atas dua sesi paripurna dan dua sesi paralel. Sesi paripurna pertama diisi dengan ceramah fisikawan teori senior Prof H Muslim: Einstein's 1905 Legacy in Special relativity and Quantum Physics, Its Contextual Development as Modern Physics Paradigms. Selain sebagai lokakarya, LFT kedua memang diadakan dalam rangkaian perayaan 100 Tahun Relativitas Khusus Einstein dan Tahun Fisika seperti yang ditetapkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Sesi paripurna kedua diisi dengan ceramah fisikawan teori senior Prof Pantur Silaban, Symmetry of Elementary Interactions. Sebanyak 28 pembicara ditampilkan dalam dua sesi paralel, yang masing-masing terdiri dari empat kelas. Sesi paralel ini memperlihatkan betapa fisikawan teori Indonesia mengikuti semua perkembangan terbaru fisika.
Di kawasan partikel elementer, misalnya, dua jalur besar diisi masing-masing oleh kaum fundamentalis yang dimotori Freddy P Zen dan Bobby Gunara dan kaum fenomenologis yang dimotori LT Handoko dan Terry Mart. Kaum fundamentalis partikel ini masih dapat digolongkan ke dalam tiga mazhab - point particle, string particle, dan skyrmion particle - dengan riset-riset mereka yang terutama menawarkan metode-metode matematika untuk memahami fenomena fisika dalam partikel elementer.
Kaum fenomenologis partikel mengemukakan sejauh mana hasil-hasil eksperimen mereka mengonfirmasikan teori-teori yang berkembang pesat di pelataran partikel elementer ini. Di kawasan kosmologi aspek paradigma lebih menonjol seperti Constrains on Dark Energy from Weak Leasing dari Premana W Premadi (Astronomi ITB) dan The General Theory of Relativity under the Fock- Schwinger Gauge Condition dari Triyanta (Fisika ITB).
Ihwal eksistensi pentaquark, partikel yang terdiri dari lima quark-biasanya partikel seperti nukleon dan lain-lain terdiri dari tiga quark-banyak menarik perhatian dalam LFT kali ini.
Terry Mart yang bersama komunitas fisikawan dunia terlibat dalam eksperimen pencarian pentaquark ini mengisahkan bahwa sampai awal tahun 2005 ini jumlah eksperimen yang menjanjikan adanya pentaquark dan yang mengatakan bahwa tidak ada pentaquark sampai saat ini seimbang: sama-sama 10 eksperimen. Dalam LFT ini Terry menceritakan bagaimana pentaquark ditemukan. Tampaknya ada kaitan dengan energi yang dibutuhkan dalam proses pencarian itu.
LFT tahun 2006 direncanakan diadakan di Yogyakarta. Penentuan tempat ini melalui musyawarah. Semangatnya adalah biaya yang dikeluarkan peserta untuk mengikuti LFT sekecil-kecilnya. Untuk tahun ini, misalnya, biaya pendaftaran Rp 25.000 buat mahasiswa, termasuk makan, dan Rp 50.000 buat nonmahasiswa, termasuk makan.
LFT tampaknya diproyeksikan dapat diikuti peserta dari luar Indonesia. Maka sejak dini nama lokakarya ini sudah dibuat menginternasional: Workshop on Theoretical Physics. Menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar, judul-judul presentasi hampir semua dalam bahasa Inggris. Penyelenggaraannya 2 Mei lalu diberi nama WTP 2K5 dan oleh Boby Gunara sudah didaftarkan sebagai kegiatan ilmiah ke laboratorium fisika terkenal di Stanford, AS: SLAC, Stanford Linear Accelerator Center.
"WTP 2K5 sudah kami masukkan ke dalam pangkalan data Konferensi SLAC," tulis Georgia Row pada 3 Februari lalu.
Sistem penyelenggaraan lokakarya dengan konsorsium ini, menurut LT Handoko, diharapkan bisa menghilangkan sekat dan ego lembaga serta melanggengkan pelaksanaan LFT. Organisasi GFTI dan konsorsium ini pun bersifat cair, tidak mengenal kepengurusan. Semua anggota adalah sama dan virtual.
"Dengan sistem manajemen modern dan terbuka serta berbasis profesionalisme semata, relatif kelanggengan bisa terjaga dan tidak ada beban kerja berlebihan pada sebagian anggota," kata LT Handoko. "Sistem organisasi dan pertemuan ilmiah semacam ini juga sudah diadopsi oleh organisasi profesi ilmiah lain, seperti Masyarakat Komputasi Indonesia dan Masyarakat Nano Indonesia."
Freddy P Zen selaku chairman lokakarya ini mengatakan bahwa lokakarya ini mengumpulkan fisikawan teori dari angkatan yang pernah ada. "Jadi, angkatan Pak Silaban dan Pak Muslim mengantar kami yang muda-muda ini memulai pertemuan ilmiah yang profesional," katanya.
Melihat suasana pertemuan yang produktif dan topik-topik yang sedang dikerjakan para fisikawan teori ini yang semuanya di deretan frontier, tidak keliru tampaknya disarankan kepada pemerintah supaya memberi perhatian pada bidang yang memprasyaratkan daya nalar, power of reason ini.
Fisikawan partikel ini sekarang anggota terhormat Institut Santa-Fe yang masyhur dengan kajian antardisiplinnya. Lembaga ini berada di Santa Fe, New Mexico, AS. Gell-Mann menerima Nobel Fisika tahun 1969 karena menemukan teori eightfold way yang menata sekitar 100 partikel yang ditemukan dalam inti atom. Partikel-partikel itu, termasuk netron dan proton, dibentuk oleh partikel yang lebih elementer lagi yang kemudian ia namakan quark. Gell-Mann juga menulis buku sains populer The Quark and the Jaguar, Adventures in the Simple and the Complex. Pernah berkunjung di Indonesia pada tahun 1970-an atas undangan sebuah lembaga kajian politik di Jakarta.
Pentaquark adalah suatu partikel hipotetis yang terdiri dari lima quark. Eksperimen yang menginformasikan keberadaannya sama banyaknya dengan eksperimen yang menegasikan keberadaannya, paling tidak sampai awal tahun ini seperti dilakukan berbagai laboratorium di seluruh dunia. Bagaimana cara menghasilkan pentaquark ini diungkapkan oleh fisikawan Terry Mart dari UI, yang publikasinya tentang pentaquark diterbitkan di jurnal fisika internasional terkemuka Physical Review C, dalam Lokakarya Fisika Teori 2005 pada 2 Mei lalu di Bandung.
Published in
komput@si (17 January 2005)
Pada era tahun 80 sampai dengan pertengahan 90-an, komputasi tingkat lanjut sangat tergantung pada fasilitas komputer super (supercomputer). Komputer super ini didesain untuk melakukan proses penghitungan dengan performa tinggi, baik kecepatan maupun kapasitas penghitungan. Sesuai dengan hukum Moore yang dikenal dalam dunia komputer, yaitu kemampuan komputer akan meningkat secara eksponensial, kemampuan komputer super ini juga meningkat pesat sampai mencapai 35 TFlops saat ini yang dipegang rekornya oleh komputer super NEC yang dipakai untuk simulator bumi. TFlops berarti tera flops atau 1012 flops. Flops singkatan dari floating point operations per-second, yang menunjukkan kemampuan komputer melakukan jumlah komputasi per-detik.
Kendala utama komputer super adalah pada biaya pengadaan dan operasionalnya. Untuk komputer super Hitachi yang dipakai untuk komputasi fisika energi tinggi di KEK Tsukuba, yang menjadi komputer super tercanggih tahun 1998, diperlukan biaya milyaran yen untuk pembuatan dan instalasinya. Belum ditambah biaya operasional dan pemeliharaan yang memerlukan satu ruangan khusus dengan kondisi khusus, mulai dari instalasi listrik sampai pengatur suhu ruangan. Itupun rekor sebagai komputer super segera dikalahkan oleh komputer super generasi berikutnya yang memiliki kemampuan satu order diatasnya hanya dalam dua tahun kemudian. Fenomena ini persis seperti dunia PC pribadi. PC tercanggih yang dibeli saat ini akan menjadi barang kuno hanya dalam hitungan bulan akibat munculnya prosesor generasi terbaru setiap 6 bulan !
Meski fenomena semacam ini menunjukkan akselerasi kemajuan teknologi, dilain pihak ini membuat frustasi banyak pihak. Karena tingkat penyusutan atas nilai investasi awal yang besar menjadi tidak terkendali. Ini memotivasi, khususnya komunitas ilmiah, untuk mencari alternatif baru yang lebih cerdas.
Alternatif populer saat ini adalah cluster computer (kelompok komputer) atau parallel computer (komputer paralel). Yaitu menggabungkan beberapa PC (disebut node) menjadi seolah-olah satu komputer dengan kemampuan yang lebih besar seperti ditunjukkan di gambar. Aplikasi sistem ini sudah sangat meluas pemakaiannya, bahkan sudah mulai menggeser pemakaian komputer super. Contoh paling terkenal adalah mesin pencari Google yang memanfaatkan lebih kurang 10.000 PC yang terangkai menjadi satu sistem dengan kemampuan komputasi yang canggih. Bahkan sistem perbankan di luar negeri sudah banyak yang memanfaatkan sistem berbasis komputer paralel ini. Sistem ini juga sudah didukung dan ditawarkan oleh para vendor dan penyedia jasa layanan sistem informasi profesional.
Dengan komputer paralel ini, biaya investasi bisa ditekan sampai titik terendah, selain nilai penyusutan yang juga jauh lebih rendah. Lebih penting lagi, sistem ini fleksibel terhadap perubahan teknologi komputer yang sangat cepat. Juga bisa dilakukan optimalisasi perangkat keras sesuai dengan karakteristik penggunaan. Misalnya untuk aplikasi yang mementingkan kecepatan proses penghitungan cukup dengan prosesor dan memori saja tanpa media penyimpan di setiap PC. Sebaliknya untuk aplikasi yang banyak memproduksi data, penekanan diberikan pada perangkat media penyimpanan. Dengan ini bisa dilakukan efisiensi investasi. Karena PC-PC lama masih bisa didayagunakan sesuai dengan kebutuhan. Bahkan banyak komputer paralel yang berbasis PC satu dekade lalu semacam Intel 486.
Meski hanya berbasis PC jangan diremehkan kemampuannya. Sebagai gambaran, seperti di Public Cluster LIPI (http://www.cluster.lipi.go.id), dari komputer paralel dengan 5 node masing-masing berbasis Pentium IV 2,4 GHz dan memori 1 Gb bisa diperoleh kemampuan sebesar 5 GFlops.
Komputer paralel dengan koneksi internet
Usaha lebih jauh dilakukan untuk mengembangkan potensi komputer paralel ini. Meski relatif murah dan mudah dibuat, bagaimanapun juga biaya untuk membuat komputer paralel masih mahal bagi sebagian kalangan, apalagi pemakai pribadi karena minimal harus memiliki dua komputer untuk diparalel.
Alternatif baru tersebut adalah melakukan koneksi untuk memparalelkan komputer pibadi melalui jaringan internet ! Karena pada prinsipnya tidak ada perbedaan antara koneksi fisik secara langsung memakai kabel dengan koneksi maya melalui internet. Sistem ini telah dimulai sejak pertengahan tahun 90-an. Ini menjadi kecenderungan baru saat ini seperti dilakukan oleh komunitas di SETI@home (http://setiathome.ssl.berkeley.edu) yang mencari data untuk teleskop radio untuk melihat sinyal intelektual terestrial (sinyal dari mahkluk angkasa bila ada). Proyek yang dimulai tahun 1999 ini telah menghubungkan satu juta-an PC pribadi di seluruh dunia dan memiliki komunitas yang luar biasa di banyak negara. Satu juta PC yang terkoneksi di SETI@home ini memiliki kemampuan setara 60 TFlops !
Untuk komunitas fisika energi tinggi, khususnya eksperimen, bahkan telah mengembangkan gabungan kedua sistem. Yaitu menghubungkan komputer paralel di pusat-pusat penelitian dengan koneksi internet berpita lebar. Proyek ini dikenal sebagai Grid (http://www.grid.org). Ini bahkan telah menjadi proyek utama yang tidak terelakkan dalam melakukan analisa data eksperimen di akselerator-akselerator utama dunia. Dalam proyek ini tidak hanya kemampuan komputasi saja, melainkan juga potensi media penyimpanan yang besar menjadi tujuan utamanya. Dengan sistem ini dimungkinkan analisa data eksperimen secara real-time, sehingga bisa dilakukan penghematan kapasitas penyimpanan karena hanya data yang relevan saja yang disimpan secara permanen. Berbeda dengan sebelumnya dimana data eksperimen dianalisa secara off-line, sehingga diperlukan kapasitas penyimpanan yang sangat besar. Sistem ini akan dipakai pertama-kalinya untuk eksperimen di LHC (Large Hadron Collider) di CERN yang akan mulai berjalan pada tahun 2007.
Tentu saja untuk bisa berpartisipasi dalam jaringan komputer paralel harus memenuhi beberapa prasyarat utama. Pertama kita harus memiliki koneksi permanen ke internet berpita lebar. Kedua kita harus memiliki komputer paralel yang siap menyala selama 24 jam dengan stabil dan tanpa gangguan. Terlebih untuk proyek semacam Grid yang mencakup pertukaran data lintas benua dalam jumlah yang sangat besar, koneksi yang stabil dan pita lebar (untuk Grid lebih kurang 10 Gbps) sangat mutlak.
Komunitas komputasi Indonesia juga aktif mengembangkan
Bagaimana dengan di Indonesia ? Di Indonesia dengan mudah dijumpai pemilik komputer pribadi dengan perangkat keras spesifikasi terbaru yang sebagian besar mubazir karena hanya dipakai untuk pengganti mesin ketik. Sayangnya koneksi internet masih merupakan barang mewah, bahkan untuk kalangan perusahaan atau lembaga riset sekalipun. Sehingga sistem semacam SETI@home apalagi Grid masih sangat jauh dari realita.
Tetapi ini tidak berarti komputer paralel belum perlu dikembangkan. Sejak beberapa tahun lalu, implementasi komputer paralel sudah jamak di universitas ataupun lembaga penelitian lokal. Meski demikian tidak banyak penelitian spesifik yang secara aktif dilakukan. Sejauh ini, sepengetahuan penulis, baru sebatas usaha percobaan dan bersifat insidental. Hal ini terjadi karena komputer paralel yang dibuat berbasis komputer yang ada (dan dipakai juga untuk keperluan lain, bahkan administrasi) dan bukan khusus untuk komputer paralel. Semua ini menyebabkan komputasi tingkat tinggi yang membutuhkan waktu kerja berhari-hari misalnya tidak bisa dilakukan. Ini kemudian berdampak menghambat potensi peningkatan kemampuan sivitas komputasi Indonesia melakukan komputasi tingkat tinggi. Berbeda dengan pemrograman pada komputer tunggal, diperlukan algoritma dan "jam terbang" untuk melakukan pemrograman yang optimal pada komputer paralel.
Untuk memecahkan sebagian masalah tersebut, Grup Fisika Teoritik dan Komputasi di Pusat Penelitian Fisika LIPI telah mengembangkan sistem komputasi paralel terbuka. Sistem dengan nama Public Cluster LIPI ini didesain khusus untuk komputasi paralel dan dibuka untuk umum secara cuma-cuma. Seluruh pengelolaan dan administrasi sistem oleh pengguna bisa dilakukan melalui situs di http://www.cluster.lipi.go.id. Dengan sistem ini, pengguma cukup meng-upload program paralel yang telah dibuatnya untuk kemudian bisa dijalankan pada Public Cluster dengan perintah yang dikirimkan melalui situs. Fasilitas terbuka sejenis mungkin baru pertama kali di dunia, karena umumnya sarana komputer paralel hanya dibuka untuk kalangan terbatas. Meski saat ini kapasitas secara keseluruhan masih sekitar 20 Gflops, bagi sebagian besar pengguna di Indonesia kapasitas ini masih jauh dari mencukupi. Dengan ini diharapkan komunitas komputasi tidak kesulitan mencari tempat praktek untuk mengembangkan kemampuannya. Kelak, seiiring dengan peningkatan kebutuhan dan kemampuan pengguna, peningkatan jumlah node dan kapasitas akan terus ditingkatkan.
Sarana ini telah dibuka sejak tanggal 23 Agustus 2004, dan mewakili Indonesia di kancah APICTA (Asia Pacific Information and Technology Award) di Hongkong tanggal 7-11 Desember 2004 untuk kategori Research and Development.
Jadi, ingin mencoba dan mengembangkan kemampuan dalam program paralel di Indonesia ? Siapa takut !
Published in
Republika (5 December 2004)
Penampilannya sangat santai dan tenang. Jauh dari kesan angker dan banyak mengerutkan dahi yang dicitrakan ilmu fisika. Ia tak tampak pula seperti seorang pakar fisika. Itulah Laksana Tri Handoko, fisikawan muda yang biasa bergulat mencari teori tentang partikel elementer.Doktor fisika lulusan Universitas Hiroshima, Jepang, itu kini menjadi peneliti di LIPI. Spesialisasi pilihannya jarang peminat, fisika teoritik. Berbagai penelitian bersumber dana bersifat mandiri banyak dilakukannya.
Dedikasi dan konsistensinya dalam bidang penelitian sering menghasilkan penghargaan. Akhir November lalu mewakili ilmuwan kelompok ilmu dasar fisika, Handoko meraih penghargaan Habibie Awards dari The Habibie Center (THC). Anugrah itu berupa medali berlapis emas bergambar foto Baharuddin Jusuf Habibie, pendiri THC. Selain itu dia juga menerima uang tunai 25 ribu dolar AS. Penghargaan atas pengabdiannya dalam dunia fisika itu merupakan usulan LIPI.
Fisika biasa jadi momok bagi mahasiswa. Apalagi mata kuliah fisika teoritik, khususnya soal partikel elementer, sangat sulit dipelajari. Tapi, cara penyampaian Handoko tak membuat mahasiswa terbebani. "Saya mengajarkan fisika secara santai," tuturnya. Di kalangan mahasiswa, ia dikenal sebagai dosen yang menyenangkan. Di tengah aktivitasnya yang padat, Handoko menerima wartawan Republika, Heri Ruslan, Lukmanul Hakim, dan fotografer Teguh Indra di ruang kerjanya Pusat Penelitian Fisika, Puspitek Serpong, Tangerang. Berikut petikan wawancaranya:
Apa yang membuat Anda jatuh cinta pada fisika?
Sejak SMA saya sudah punya ketertarikan pada fisika. Namun, sebenarnya saya lebih suka matematika. Yang jelas, saya tidak terlalu suka kimia dan bilologi. Waktu SMA, sebenarnya saya pernah ikut karya ilmiah remaja bidang Matematika di LIPI.
Yang menarik dari fisika mungkin saya nggak perlu ngapalin banyak, ha... ha... Banyak orang yang bilang fisika itu kering. Namun, waktu itu saya nggak berpikir sejauh itu. Awalnya, saya masuk Fisika ITB. Tapi saat bersamaan, waktu BJ Habibie jadi Menristek, ada program siswa lulusan SMA ke luar negeri pada 1987.
Baru tiga bulan diterima di Fisika ITB, saya ternyata juga lulus tes sekolah ke luar negeri. Akhirnya, saya dikirim ke Jepang, kuliah di Universitas Kumamoto, jurusan Fisika. Karena kuliah di sana gratis dan malah dibayar pemerintah, akhirnya saya ambil yang di Jepang. Selain itu, orang tua saya juga tak terlalu mampu. Selesai kuliah tahun 1993.
Anda baru pulang ke Indonesia pada 2001, apa yang Anda kerjakan di luar negeri?
Setelah lulus dari Universitas Kumamoto, saya pindah ke Hiroshima. Waktu itu, saya mendapat beasiswa dari pemerintah Jepang. Saya melanjutkan kuliah di Universitas Hiroshima jurusan Fisika Teoritik. Waktu itu, ekonomi Indonesia agak berkurang, sehingga dana beasiswa juga berkurang. Saat itu angkatan saya sangat sulit mendapat beasiswa untuk meneruskan studi ke S2. Sehingga, kita harus mencari beasiswa sendiri. Setelah selesai mengambil master pada 1995, saya melanjutkan studi doktor di Universitas Hiroshima, mengambil Fisika Teoritik. Dan selesai, tahun 1998.
Setelah itu saya mengambil Postdoctoral Researcher di Trieste, Italia. Saya jadi peneliti pada The Abdus Salam Intl Center for Theoretical Physics. Kemudian saya juga mengambil Postdoctoral Researcher di Hamburg, Jerman. Saya memang tak langsung pulang ke Indonesia. Karena, saya harus mempersiapkan diri agar siap mental. Secara scientific saya harus siap jadi peneliti yang mandiri. Sebab, di Indonesia bidang saya hanya sedikit sehingga harus mandiri. Selain itu, yang lebih realistis adalah masalah ekonomi. Karena, kalau pulang saya nggak tahu dapat gaji berapa.
Seberapa besar sih gaji seorang peneliti di Indonesia?
Yang pasti nggak besar, dan memang betul-betul nggak besar. Jangan tanya berapa ya, ha... ha... Saya setahun lebih statusnya sama dengan PNS anak lulusan SMA. Jadi waktu itu, gaji saya sama dengan gaji tukang sapu, golongan II/A. Jadi, ya saya selevel tukang sapu gajinya ha... ha... Untuk ongkos naik bus saja, mungkin sudah tekor. Tapi, menurut saya nggak apa-apa karena buat saya itu sebuah dinamika. Makanya, saya sudah menyiapkan diri untuk itu.
Banyak orang Indonesia yang belajar di luar negeri dan langsung kerja di sana. Mengapa Anda memilih pulang?
Saya berkewajiban untuk pulang, karena kita ikatan dinas. Sangat prinsip saya harus pulang. Selain itu, saya dapat tawaran dari Pak Terry untuk membantu mengajar di Fisika UI. Karena waktu itu, Prof Darmadi Kusno meninggal.
Sejak awal, saya sudah memahami bahwa bidang saya itu tak perlu barang, tapi perlu orang. Perlu isi kepala. Harus selalu ada regenerasi dan membutuhkan orang muda. Karenanya, mahasiswa yang pintar itu sangat mutlak. Dalam konteks itu, saya sangat senang dapat kesempatan mengajar di UI.
Handoko, begitu ia akrab disapa, tak pernah bermimpi bisa sekolah di Jepang. "Saya ingin jadi presiden," ungkapnya soal cita-cita waktu kecil. Harus membantu sang ayah bekerja di peternakan, tak membuat prestasinya menurun. Semasa SMP dan SMA, ia selalu juara kelas.
Orang Indonesia kan senang ilmu-ilmu yang bersifat aplikatif, mengapa Anda memilih fisika teoritik?
Memang, fisika teoritik itu yang jelas masih minor di Indonesia, karena di Indonesia kebanyakan harus yang aplikatif. Itu hal yang lumrah. Namun, di negara maju, bidang ini sudah berkembang. Saya mengambil fisika teoritik, mungkin karena saya suka matematika. Terus terang saya lemah sekali di eksperimen. Saya nggak bisa pegang tabung. Pecah melulu, ha... ha... Kalau teoritik kan, kalau dulu cukup pensil dan kertas. Kalau sekarang asal ada komputer dan internet sudah cukup.
Anda juga banyak meneliti soal partikel, bisa dijelaskan mengapa tertarik dengan partikel?
Saya ini memang peneliti fisika partikel elementer. Saya meneliti apa dan bagaimana interaksi antarpartikel, maksudnya partikel elementer yang membentuk materi. Materi itu kan dibentuk oleh molekul-molekul. Kemudian, molekul itu ada unsur pembentuk seperti atom. Atom itu ada lagi unsur pembentuknya seperti elektron, proton, dan sebagainya. Nah, kalau saya itu meneliti pembentuk yang paling elementer dari itu yang sudah tidak bisa dilihat unsur pembentuknya lagi.
Saya itu, kerjanya membuat teori. Dalam jangka pendek memang manfaatnya belum bisa dirasakan. Apa yang saya lakukan tentu saja ada manfaat dan kegunaannya. Namun, jangka panjang. Orang yang membuat teori elektron pada tahun 1900-an, aplikasinya ketemu baru setelah transistor ditemukan tahun 1950-an. Yang saya kerjakan semacam itu.
Fisika partikel elementer itu itu paling basic. Semua teknologi itu ujungnya ke sana. Saya pikir karena sebagai ilmu basic atau ujungnya ilmu, mestinya di Indonesia harus ada. Tapi, kan jumlahnya tidak harus 10 ribu orang. Cukup 20 orang. Kalau ada 10 ribu insinyur teknik sipil, lima fisika teoritik itu sudah cukup. Komunitas kita masih kecil, dukungan psikologis dan apresiasi masih kurang. Mungkin, karena tidak langsung kelihatan hasilnya. Namun, tetap itu harus ada. Dalam fisika teoritik itu ada yang ahli partikel, nuklir, astrofisik. Di Indonesia, jumlahnya masih bisa dihitung jari.
Penelitian apa yang telah Anda lakukan?
Selama ini, saya melakukan riset di bidang Fisika Energi Tinggi atau biasa disebut Fisika Partikel. Saya melakukan kajian teoritik atas berbagai fenomena yang terjadi pada partikel elementer pembentuk materi.
Penelitian saya terfokus pada subbidang flavour physics, yaitu menyangkut beragam jenis kuark. Kuark merupakan salah satu partikel pembentuk materi paling elementer yang diketahui manusia saat ini. Penelitian ini dilakukan untuk menjelaskan bagaimana aneka fenomena di alam semesta saat ini, yang sudah diketahui dari eksperimen. Aplikasinya, mungkin 50 tahun lagi.
Dulu Anda pernah meneliti tentang Partikel Higgs, bagaimana hasilnya?
Betul, itu penelitian yang saya lakukan di Hamburg, Jerman. Partikel Higgs itu juga salah satu partikel elementer yang belum ketemu. Saat ini, diprediksi ada 16 partikel elementer. Hanya Higgs yang belum ketemu. Saat ini, kami memang tengah melakukan pencarian Higgs dan fenomena di neutrino.
Hasilnya, kita tinggal menunggu eksperimennya saja. Eksperimen baru akan dilakukan di Swiss tahun 2007. Itu biasa. Kalau orang teoritik telah selesai membuat teori, orang eksperimen belum mulai. Orang eksperimen memakai teori itu untuk menentukan arah eksperimennya mau kemana. Kalau eksperimen sudah jalan, teori itu biasanya sudah selesai. Teori itu selalu lebih maju 10 tahun dari eksperimen.
Penelitian apa yang tengah Anda garap sekarang?
Saya sedang meneliti tentang neutrino. Ini adalah salah satu partikel elementer juga. Neutrino itu lebih terkait pada astrofisika. Neutrino itu alam ini semua. Neutrino merupakan partikel yang paling kecil. Semua partikel apapun selalu meluruh jadi neutrino dan neutrino nggak bisa jadi apa-apa lagi. Alam raya ini full neutrino.
Apa yang Anda lakukan dengan neutrino?
Dalam neutrino itu ada fenomena yang bernama osilasi. Teorinya, selama ini neutrino tidak bisa berosilasi atau berubah bentuk. Nutrino itu ada tiga jenis; ada elektron, muon, dan tau. Selama ini, teorinya neutrino tak bisa berubah dari elektron menjadi muon. Namun, hasil eksperimen di Jepang dan Amerika ternyata bisa berubah.
Manfaatnya ke depan kira-kira apa?
Manfaat ke depan, kita bisa menjelaskan interaksi antarpartikel elementer. Bisa menjelaskan interaksi yang benar. Selama ini sudah ada, namun ada ketidakcocokan. Dengan eksperimen itu, teorinya harus dimodifikasi. Kita membuat teori itu sedikit demi sedikit. Dalam konteks ini, saya bisa berkiprah secara global. Karena ini ilmu yang bersifat universal. Jadi secara global, kita sederajat dengan mereka para ahli fisika dunia. Dengan hanya modal nasi pecel, maksudnya perut kenyang, ha... ha...
Handoko biasa melakukan penelitian dengan dana mandiri. Untuk itu ia menggandeng kolega dari luar negeri. Ketekunanannya meneliti sering membuahkan penghargaan. Sebulan sebelum memenangkan Habibie Award, ia memenangkan penghargaan sebagai juara terbaik dalam Research and Development, APICTA Indonesia. Handoko ketemu jodoh di Jepang. Ia menikahi gadis Indonesia Laila Andaryani, mahasiswa S2 Komunikasi Universitas Hiroshima. Arsya Asharhadi, buah hati mereka, kini berusia enam tahun. "Sekarang, kalau ada tawaran dari luar negeri saya akan berpikir ulang. Soalnya, anak saya sudah gede," katanya.
Selama ini kabarnya Anda melakukan penelitian dengan dana sendiri?
Kalau semuanya dari kocek sendiri tentu tidak. Tapi, selama ini saya melakukan penelitian biaya mandiri. Maksudnya kita kolaboratif dengan kolega dari luar negeri. Kita kan tidak bisa terlalu menuntut.
Apalagi, saat ini sebagian orang untuk makan saja masih susah, masa saya tiba-tiba minta dana untuk mencari kuark, yang manfaatnya tak bisa langsung dirasakan. Saya pernah dibilang teman-teman, 'kenapa kamu mau ngerjain hal yang begitu'. Saya jawab, karena justru hanya dilakukan sedikit orang jadi nggak ada saingan.
Bagaimana pendapat Anda tentang dunia fisika di Indonesia?
Saya kira, secara umum dunia scientific di Indonesia kontribusinya masih sangat kurang. Namun, salahnya kadang di pihak kita suka beralasan, orang industri kurang men-support kita. Kita nggak bisa menyalahkan industri. Dalam dunia, scientific itu output-nya hanya dua.
Kalau nggak membuat karya ilmiah di jurnal internasional untuk teoritik, dan paten untuk yang eksperimen. Syaratnya, harus ada suatu inovasi. Kalau itu tidak dilakukan tidak mungkin orang industri mengajak seseorang. Meskipun, contohnya saya ngaku bisa membuat semikonduktor, kalau saya tidak punya paten siapa yang akan mengajak? Karena, kalau saya tak punya paten tak ada jaminan bahwa yang saya buat itu memang baru dan pertama kali saya yang bikin.
Anda merasa ada perbedaan antara yang teoritik dan aplikatif?
Saya kurang suka kalau kita diharuskan melakukan penelitian yang aplikatif. Bukan, karena saya orang teoritik. Menurut saya, tak perlu ada dikotomi itu. Buktinya, untuk penelitian saya yang komputasi hasilnya sangat aplikatif, misalnya saya bikin public cluster. Pokoknya, apa saja orang boleh mengerjakan. Peneliti itu harus diberi kebebasan, yang paling penting dia harus dituntut harus bisa menghasilkan karya ilmiah di jurnal internasional untuk yang teoritik dan paten untuk yang aplikatif. Simple sekali sebenarnya.
Bagaimana masa depan fisika di Indonesia, menurut Anda?
Saya lebih suka bagaimana kita memperbaiki diri saja. Kalau komunitas kita bagus dan yang dihasilkan bagus, orang akan apresiasi dan memberi perhatian termasuk pemerintah. Terus terang, saya kurang nyaman kalau kita terlalu banyak menuntut. Itu prinsip saya sejak dulu.
Sebab, saat ini banyak orang yang hari ini masih bingung mau makan apa. Seburuk-buruknya pegawai negeri, saya kira lebih makmur. Saya lebih suka tak menuntut, kalau tidak punya uang, saya mencari dana dari luar negeri, saya merasa beban mental kecil. Saat mendapat Habibie Awards saya merasa senang, karena itu sebagai bentuk apresiasi. Namun di lain pihak itu jadi beban, bebannya adalah saya tak boleh mengeluh lagi.
Apa obsesi yang ingin Anda wujudkan dalam dunia fisika?
Obsesi saya simple saja. Saya ingin tetap eksis sebagai peneliti di bidang ini. Yang kedua, ingin komunitas fisika teoritik semakin besar, sehingga memiliki peran. Karena saya yakin, ini sangat penting. Di luar negeri saya lihat itu dianggap penting. Agar orang berpendapat ini penting, maka kita harus menunjukkan bahwa ini memang berguna. Kalau peneliti secara umum nggak aneh-aneh. Sebab, kita nggak tahu apakah teori yang kita buat itu benar atau nggak. Yang kita lakukan hanya didorong oleh curiosity. Yang membuat kita menarik, ya kita kerjakan.
Kalau ternyata teori yang kita hasilkan itu bagus dan berguna, jadi seperti teori Einstein, misalnya, itu sih urusan orang yang mengapresiasi. Kita tak bisa menaruh target apa-apa. Paling targetnya, kita harus publikasi supaya tetap survive di komunitas ini. Apakah itu bisa berguna, waktulah yang menentukan. Saya pikir semua bidang begitu, cuma range waktunya berbeda. Kalau saya mungkin 30 tahun, tapi kalau bidang IT dua tahun.
Apa yang membuat Anda paling berkesan dalam dunia fisika?
Kita itu hanya mendapat kepuasan batin saja. Kalau tanpa itu, nggak bisa bertahan kayaknya. Karena yang jelas uang nggak banyak. Nggak bisalah jadi kaya. Kalau miskin juga nggak. Itulah sebabnya, kita bekerja di luar sampai batas minimal, nggak bakal jadi miskin. Kalau pingin kaya, sudah salah jalur.
Bagaimana membagi waktu dengan keluarga?
Apakah si kecil nanti akan didik jadi fisikawan?
Ah nggak juga. Zaman sekarang kan bebas-bebas saja. Mau jadi seniman, pemusik juga nggak apa-apa. Yang penting berguna bagi masyarakat. Kalau mau milih jadi fisikawan seperti bapaknya juga silakan saja, ha... ha...
Guest : Umar Anggara Jenie (LIPI's President), L.T. Handoko
Production House : PIPA Production
Place of shooting : BPPT Bld. II (24th floor), 14 September 2005
Murray Gell-Mann
Pentaquark
Terus terang, waktu itu pun saya sudah dapat pekerjaan yang permanen di salah satu universitas di Amerika sebagai dosen. Namun, bukan universitas yang sangat bagus. Meskipun di luar negeri, universitas yang medium pun sudah lumayan. Karena itu daripada saya kerja di luar negeri, lebih baik saya balik ke Indonesia dan bisa melakukan banyak hal di sini. Selain itu, secara ekonomi saya sudah merasa percaya diri.
Laksana Tri Handoko lahir 7 Mei 1968 di Kecamatan Lawang, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Berayahkan Suyono, peternak, dan ibu Susasi (almarhumah), ia anak ketiga dari empat bersaudara. Dia memiliki bakat sebagai peneliti, karena keluarga dari sang ayah kebanyakan menjadi akademisi.
Sebenarnya, kerjaan saya ini santai. Bisa dilakukan di mana saja. Termasuk di kamar mandi. Produk kita ini hanya karya tulis di jurnal internasional.
Arti hidup buat saya simple saja, nggak pernah mimpi yang aneh-aneh. Saya tak pernah bercita-cita untuk berguna bagi orang lain, kelihatannya mewah banget. Pokoknya, saya nggak merugikan orang lain saja, susah sekali.